44

17.5K 972 6
                                    

"Shafa ingin kalo kita bulan madu, kita jangan musuhan. Kita jadi temen. Walau Mas Rangga entar nggak suka sama bulan madu itu, paling nggak selama itu kita gak musuhan. Kan nggak enak, lagi liburan tapi kita musuhan?" Shafa menatap lekat kepada Rangga.

"Oke, baiklah," jawab Rangga kemudian.

Muthia senyum-senyum mendapati anak dan menantunya sedang bermesraan di depan televisi sore ini.
Setelah kesepakatan yang mereka buat, Shafa dan Rangga menikmati waktu sore hari dengan segelas teh dan pizza yang dipesan online sebelumnya.

Bagaimana Muthia tak bahagia melihat keduanya tersenyum penuh cinta. Shafa hendak menyuapkan pizza kepada Rangga, tapi sayang saat Rangga sudah membuka mulutnya, Shafa dengan usilnya malah menyuapkan pizza itu pada dirinya sendiri. Tentu saja Rangga kesal lalu menggelitik Shafa habis-habisan. Shafa yang kegelian hanya bisa tertawa dengan siksaan yang diberikan Rangga.

Shafa tak sanggup menahan gelitikan Rangga hingga pada akhirnya terbaring di sofa. Namun malang baginya, posisi itu justru mempermudah Rangga menggelitikinya lebih lagi.

Tangannya sibuk bergerak abstrak di seputar perut, pinggang dan di bawah ketiak diiringi tawa terbahak bahak Shafa. Kini Rangga mengungkung Shafa dengan posisi merangkak di atas Shafa yang terbaring di sofa.

"Masih mau ngerjain aku gitu?" tanya Rangga.

"Eng..gak...ha...ha...ha, " Shafa menjawab di antara sengalan tawanya yang memenuhi ruang keluarga rumah orang tua Rangga.

"Suapin yang bener kalo gitu," Rangga menatap dalam bola mata Shafa.

"Iya, ya udah Masnya minggir dulu. Nih Shafa mau bangun ...," jawab Shafa dengan dentuman jantung yang bertalu-talu di dalam dadanya serta wajah yang kemerah-merahan karena menanggung malu pada Rangga yang wajahnya sangat dekat dengan Shafa.

"Mbok ya kapan ngasih Ibu cucu?" tanya Muthia yang baru saja bergabung untuk duduk bersama mereka di depan televisi. Anak dan menantunya itu bangkit dari sofa dan memilih untuk menegakkan punggung bersandar di sofa.

Lagi-lagi pertanyaan yang sama dilayangkan Muthia pada keduanya. Mereka pasti gugup dengan permintaan Muthia.

"Kita berusaha terus Bu, iya kan, sayang ..., ibu tunggu aja kabarnya ya ..." Rangga berkata sambil memeluk leher Shafa kemudian mencium sudut mata gadis itu sekilas. Shafa yang tak lagi kaget dengan perlakuan Rangga yang bersandiwara mengangguk meyakinkan mertuanya.

"Ibu seneng liat kalian berdua akur gini. Ibu nggak nyangka kalian bisa menerima perjodohan ini. Terutama kamu Rangga, Ibu tahu pada awalnya kamu tidak setuju dengan perjodohan ini, namun semakin ke sini, Ibu yakin kamu sudah bisa menerima perjodohan ini. Ibu akan berdoa semoga kalian bisa menjadi pasangan sampai kakek nenek," kata Muthia.

Shafa dan Rangga menegang. Rangga dapat merasakan ketegangan masing masing pasangannya karena posisi Rangga yang saat ini tengah memeluk Shafa.

"Ibu gak mau lama-lama lagi nimang cucu. Ibu kesepian di rumah besar ini. Apalagi kalo ayah berangkat ke luar kota kayak gini, Ibu sangat kesepian. Kalo aja kakakmu nggak menetap di Jepang mungkin Ibu juga nggak terlalu sepi gini. Anak kakakmu bisa nemenin Ibu di sini, Ngga," keluh Muthia yang membuat Shafa semakin tak enak hati.

                                 ***

Entah karena memang akting atau memang manja, saat makan malam berlangsung, Rangga meminta Shafa menyuapinya. Hingga membuat Muthia geleng geleng kepala melihat kelakuan putranya itu. Sementara dirinya memang memegang macbooknya di sana karena ada beberapa hal yang harus dikerjakannya karena dia sudah meninggalkan kantor saat jam makan siang.

Rangga yang acapkali tidak menatap Shafa saat gadis itu hendak menyuapkan nasi ke depan bibirnya, seringkali malah membuat mulutnya belepotan oleh sisa makanan, hingga tak jarang pula Shafa mengelap bibir suaminya itu dengan penuh kelembutan seolah Shafa memang berperan layaknya seorang istri yang tidak sedang bersandiwara saat ini.

Bahkan Nyonya Muthia yang merupakan senior dalam hubungan percintaan saja masih bisa dibohongi dua bocah yang amatiran dalam urusan percintaan. Shafa geli sendiri jika memikirkan bahwa alangkah akting mereka berdua sukses membuat Muthia percaya bahwa mereka bahagia dan saling mencintai.

"Oke...udah habis...mau tambah? " tanya Shafa pada suaminya. Rangga menggeleng bersamaan dia menutup macbooknya. Mengecup kepala istrinya dan berkata,

"Aku tunggu di kamar kita sayang," kata Rangga pada Shafa yang sontak membuat Shafa bengong. Sayang? Shafa jadi melayang bahagia dipanggil itu. Ah, iya ini kan bagian dari akting. Shafa lupa lagi.

"Good ... rajin rajin gih bikin baby ...," kata Muthia yang sukses membuat Shafa bertambah mumet. Di sisi lain dia senang mertuanya ikut bahagia melihat keromantisan mereka berdua.

Namun Shafa juga jadi gelisah karena telah menanam harapan palsu pada mertuanya. Orang tuanya yang tak pantas sama sekali diperlakukan begitu.

Shafa betul betul kehilangan kata kata untuk menanggapi ucapan mertuanya, agar tak semakin kikuk, Shafa memilih untuk segera pergi menyusul suaminya ke kamar.

Shafa sudah akan menaiki sofa di kamar mereka kala suara Rangga mengejutkannnya beberapa detik.

"Ngapain kamu di situ?" tanya Rangga.

"Tidur," jawab Shafa. Shafa sangat tahu diri untuk tidak tidur di ranjang milik Rangga karena sudah pasti Rangga tidak ingin tidur berdua dengannya dalam satu ranjang. Terbukti dengan mereka tidur pisah ranjang ketika di apartemen Rangga.

Hanya sekali mereka tidur seranjang, saat mereka baru tiba ke rumah mertuanya malam malam beberapa hari yang lalu. Bukan berarti Rangga mau tidur dengannya, tapi karena Rangga masih memiliki rasa iba pada Shafa.

Perjalanan di malam hari menuju rumah besar yang melelahkan sepulang dari kantor mereka membuat rasa iba di hati Rangga tumbuh. Sehingga dia mengijinkan Shafa tidur bersamanya. Namun, tidak berlaku untuk malam selanjutnya bukan? Dan Shafa cukup paham akan hal itu.

"Tidurnya di sini aja," kata Rangga.

"Hah?" Shafa mengerjap ngerjapkan matanya tak percaya dengan apa yang didengarnya baru saja.

"Tidurnya di sini saja," Rangga menatap tajam kali ini ke arah Shafa.

"Tapi---"

"Kalo aku harus mengulangi kata kataku untuk yang ketiga kalinya, aku yang akan menidurimu di sofa itu," kata Rangga dengan tegas.

Setengah berlari Shafa menuju ranjang Rangga lalu duduk di tepi kasur itu. Membuat Rangga menyimpan senyumnya geli melihat tingkah Shafa.

"Belum mau tidur juga? Bukannya tadi kamu mau tidur?" tanya Rangga.

"Heuh?"

"Kamu belum mau tidur? Atau memang memancing aku untuk menidurimu?" tanya Rangga dengan senyum menyeringai.

"Eh..iya...nggak aku mau tidur kok ini," jawab Shafa seraya membaringkan tubuhnya di pinggir ranjang memunggungi Rangga.

"Kok tidurnya ngadep sana?, " tanya Rangga.

"Hah?" Shafa tergelagap menanggapi pertanyaan Rangga.

"Tidurnya ngadep sini aja," Rangga mengulum bibirnya menahan senyum merasakan kegugupan Shafa.

"Nggak ah," jawab Shafa.

"Kenapa? Takut kamu ilerannya ketahuan aku ya?" Tanya Rangga.

"Isssh ... Mas ...," Shafa berbalik dan mencubit kecil lengan Rangga dan ternyata jarak wajah mereka sangat dekat. Di luar dugaan Shafa.

Mendapat cubitan itu Rangga terkekeh.

Rangga dan Shafa up dong...
Soalnya ada yang penasaran nunggu ini. Karena lagi bulan puasa, aku mau berbaik hati nambahin bab... Hahaha

Kira-kira gimana kelanjutannya? Apa Rangga mulai membuka hatinya untuk Shafa? Nantikan next part ya.

Jangan lupa bintangnya
Terima kasih

Istri yang DiabaikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang