Bab 50

20.3K 1K 24
                                    

"Ya ampun Ayah ... Ibu kangen banget, Ayah kurusan ...." Muthia memeluk hangat sang suami yang wajahnya menirus seminggu terakhir ini. Deddy membalas pelukan istrinya tak kalah erat.

Dikecupnya ubun-ubun wanita yang setia menemaninya selama ini. Mengurai pelukan itu, Deddy memindai keseluruhan ruangan keluarga. Senyumnya terbit tatkala yang dicarinya berada tidak jauh dari mereka berdiri. Kedua anak muda yang dari matanya dapat Deddy nilai tengah berbunga-bunga senada dengan bahasa tubuh yang ditangkap netra Deddy dengan sangat baik.

Sebuah pemandangan yang menyejukkan mata, hati lelaki tua itu turut merasakan kehangatan yang ditebar kedua anak muda yang ada di ruangan itu.

Senyumnya tidak lepas sama sekali karena menatap Rangga yang mendaratkan tangan kanannya di bahu kanan Shafa, sedang tangan kiri Shafa memeluk Rangga dari belakang pinggang lelaki itu. Sebuah kemajuan yang pesat menurutnya.

Tatapan mata Deddy tidak pernah jauh dari laku mesra anak dan menantunya. Betapa bahagia rasa hatinya mendapati jalinan keromantisan yang dilayangkan kedua anak muda itu. Di depan televisi, Shafa dan Rangga asyik bermesraan.

Shafa yang menyandarkan kepalanya di pundak Rangga sementara sepasang bola matanya menatap layar lebar di depannya. Sesekali Rangga menyelipkan rambut Shafa di jarinya kemudian dipintal dengan telunjuknya, dan tidak jarang bibirnya mengecup kilas ubun ubun Shafa.

Malam ini adalah malam terakhir mereka bermalam di sana. Pagi-pagi sekali Rangga akan membawa Shafa pulang. Hanya ini kesempatan menunjukkan pada orang tuanya bahwa mereka baik baik saja. Hingga pada waktunya nanti, mereka akan berpisah dengan baik-baik pula.

Dengan demikian tidak ada yang akan membenci dengan perpisahan mereka karena keputusan diambil dengan kepala dingin. Di samping itu, dengan perpisahan baik baik, orang tua Rangga tidak kan menganggap kehadiran Karina sebagai duri dalam rumah tangga mereka, hingga orang tua Rangga tidak akan membenci Karina. Terlebih jika mereka menikah nanti. Sebuah rencana sempurna yang dipersiapkan Rangga dan Shafa.

                           ***

Matahari mulai terbit dari ufuk timur, suasana pagi yang cerah menyambut aktivitas insan manusia yang telah selesai melepas penat semalaman. Rangga dan Shafa telah pulang kembali ke apartemen mereka. Pagi ini, Shafa sudah sibuk di depan kompor.

Dalam perjalanan pulang malam tadi, Rangga memintanya untuk memasak sarapan seperti di rumah besar. Menurutnya supaya dia tidak telat lagi ke kantor. Ah, entahlah Shafa tak dapat menebak sama sekali isi hati dan pikiran Rangga akhir akhir ini. Semua jadi abu-abu.

"Paagiii ... muuuaaach ...." Alis Shafa bertaut membentuk kerutan di dahinya, mulutnya terbuka setengah lebar, matanya mengerjap, badannya kaku seketika saat sebuah kecupan di pipi kanannya menciptakan gemuruh di dalam dada.

Rasanya aneh mendapati sikap Rangga begini. Bukankah sekarang mereka tengah berada di apartemen? Tidak perlu bersandiwara lagi, sebab tidak ada ayah atau ibu di sini? Lalu tadi itu apa? Bolehkah Shafa merasa bahagia? Atau sebaliknya? Shafa harus terus menahan perasaannya untuk tak larut pada sikap Rangga?

"Tumben? Bukannya kita sudah tak di rumah besar lagi?" Shafa bertanya setelah memutar tumitnya agar dapat menatap raut Rangga yang sudah duduk manis di kursi makan.

Tidak ayal, keterheranannya membuat Shafa akhirnya bertanya juga. Salahkan hatinya yang penasaran membuat bibirnya kadung bicara.

"Kebiasaan ... mungkin ...," jawab Rangga sekenanya. Oh come on, itu sama sekali tak masuk akal. Kebiasaan? Mana mungkin!
Tiba tiba Shafa mau bertingkah usil.

Cup.

Sekarang gantian Rangga yang menerima kecupan di pipi sebelah kanan. Ciuman kilat, sangat cepat. Selain karena Shafa harus segera mematikan kompor yang masih berkobar api di atasnya, Shafa juga harus menahan kobaran api cinta di dada yang membuatnya berdebar dan tangannya gemetar akibat ulah beraninya tadi.

Sesaat setelah kompor dipadamkan, Shafa menaruh kepalan tangan kanannya di dada sebelah kiri dengan membelakangi Rangga. Merasakan detaknya yang tak beraturan, namun menyenangkan membuat kedua sudut bibirnya naik ke atas tanpa disadarinya.

Sedahsyat itu efek kecupannya tadi terhadap hatinya. Jika sudah begini bisakah nanti hatinya ikhlas ketika perpisahan itu terbentang di depan mata. Sementara dari hari ke hari dia merasa cintanya pada Rangga semakin tumbuh dengan baik. Shafa tidak menampik kedekatan keduanya atas dasar sandiwara nyatanya mampu menerbangkannya tinggi ke awan.

Padahal dia sadar, setinggi tingginya dia terbang, bumi tetap akan menantinya turun. Bumi tetap akan menjadi tempat kembali baginya.

Sebesar apapun cinta yang dia punya, Rangga tidak akan memilihnya untuk menempati hati pria itu. Sedekat apapun dirinya dengan Rangga, tidak akan mengubah bahwa hati Rangga sudah terpaut pada Karina. Raga Rangga boleh ada di dekatnya, namun jiwa Rangga akan menjauh darinya. Shafa tahu hal itu, tapi dia ingin menikmati sesaat saja bagaimana cinta sepihaknya selama ini berbalas. Bolehkah?

Biarlah semuanya mengalir saja. Soal perpisahan akan dipikirkannya nanti. Biarkan dirinya merasa apa itu dicintai oleh orang yang dicintai. Sebentar saja dia ingin merasakan dicintai walaupun itu semua semu. Shafa tersenyum pedih.

Rangga mengulum senyumnya dan tertegun dalam waktu bersamaan. Ada kupu-kupu berterbangan dalam otot diafragmanya. Ada semacam debaran yang tidak dapat dia terjemahkan artinya. Satu yang dia tahu, bahagia. Ya, itu definisi paling sederhana yang bisa dia tebak untuk perasaannya kini.

Memandang Shafa dengan lekat sejak gadis itu menyiapkan piring dan omelet tanpa disadari Rangga membuat senyumnya terukir. Dipandangi intens seperti itu, Shafa jadi kikuk sendiri. Hingga duduk berhadapan saat akan menyantap sarapan pagi mereka, Shafa masih tertunduk.

"Hari ini kamu udah mulai kerja? Kalo emang belum, aku akan kasih ijin," suara bariton itu menghentikan kesunyian sebab aroma canggung mulai menguar di sekitar sepasang insan itu.

Shafa yang masih menundukkan kepalanya sebelum mengambil gelas minumnya, menggeleng pelan. Sementara Rangga mulai senyum senyum sendiri. Entah apa sebabnya.

"Shafa mau ke panti dulu hari ini. Udah lama nggak ke sana. Boleh kan?" tanya Shafa. Rangga menggangguk sembari mengelap mulutnya.

"Jam berapa pulangnya? Aku akan makan siang di rumah," Shafa bengong. Tidak percaya dengan pendengarannya. Matanya membulat tak berkedip menatap Rangga.

"Kenapa?" tanya Rangga. Lagi lagi Shafa cuma bisa menggeleng.

"Iya ... aku tunggu mas makan siang ya. Mau dimasakkin apa?" tanya Shafa kemudian dengan detak jantung yang tak karuan. Matanya berbinar penuh cinta menatap sang pujaan hati, suaminya sendiri.

Rangga mengusap bagian belakang lehernya. Kikuk sendiri menerima tatapan tidak biasa dari istrinya. Tapi, ditatap seperti itu sungguh menciptakan detak-detak yang mencerahkan hati.

"Apa saja aku akan makan, selama itu kamu yang masak. Oke? Aku berangkat dulu," Shafa dan Rangga hampir bersamaan beranjak dari kursi makan mereka.

Shafa mengekor di belakang Rangga. Saat hampir sampai di  pintu depan apartemen, Rangga memutar tubuhnya hingga dia berhadapan dengan Shafa dalam jarak hanya beberapa langkah saja.

Cup.

Kemajuan lagi nih guys...
Bahkan kebiasaan di rumah besar kebawa sampai apartemen. Bukan sandiwara akhirnya tuh Si Rangga...finally terjerembab dia...

Aku up karena ada yang nagih... Hahaha
Seneng deh kalian menikmati ceritanya...

Jangan lupa bintangnya ya...
Terima kasih

Istri yang DiabaikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang