57

18.1K 1K 19
                                    

Malam semakin dingin. Shafa menggosokkan lengannya yang hanya berbalut piyama tipis di balkon. Matanya menerawang menatap bintang gemintang yang ada di langit sana. Suasana langit amat cerah. Berbeda dengan suasana hatinya. Mendung.

Potongan-potongan kata yang diucapkan Karina pagi tadi membuat Shafa tidak mudah memejamkan matanya.

"Sebelum ini pun, saat ibuku masih sakit, aku sudah pernah menanyakan kapan dia akan melamarku di depan ibu. Namun, aku menangkap gurat ragu di wajahnya. Dia bilang 'nanti', saat itu aku mulai merasa dia semakin jauh. Ditambah kejadian ini, aku rasa dia akan semakin jauh untuk ku jangkau," Karina menangis. Shafa mengusap punggungnya.

"Aku tak percaya diri dengan kondisiku kini. Namun, aku sudah tak punya siapa siapa lagi, satu satunya keluargaku saat ini adalah Tante Mina adik ibuku dan Rangga. Lelaki yang selalu ada untukku meski di hatiku ada lelaki lain. Tapi, kini aku tak merasakan hatinya untukku. Tapi ... aku ... bu--tuh ... dia ... se--ka--rang...," Karina mulai terisak dan berakhir dengan tangis yang tak terbendung lagi.

Mengingat itu semua, mendadak hati Shafa jadi lemah. Dia merasakan apa yang dirasakan Karina. Rapuh, terbuang, tidak diharapkan, terpuruk hingga mungkin akan sulit untuk bangkit.

"Fa ...," panggil Rangga setelah mengetuk pelan pintu kamar istrinya.

Shafa terkesiap. Bukankah harusnya lelaki itu menunggu Karina malam ini. Gilirannya memang.

Dengan langkah cepat dan lebar, Shafa mendekati pintu dan membukanya. Terpampanglah wajah letihnya.

"Lho ... nggak jadi nginep?" tanya Shafa.

Rangga menggeleng.

"Laper, kamu masak apa?" wajah letih itu masih tersisa di sana.

Sambil melangkah menuju lantai satu, Shafa berkata, "Ikan tenggiri digulai, ya udah yuk ... Shafa panasin dulu, ya ...."  Berlari kecil Shafa menuju dapur.

Rangga menatap pundak ringkih itu menjauh hingga ditelan undakan anak tangga dengan senyum sendu.

"Nih ... makannya," kata Shafa sembari mengangsurkan sepiring nasi dan semangkuk ikan gulai ke hadapan Rangga.

Rangga tak merespon. Seringkali begitu. Akhir akhir ini Rangga acapkali melamun. Yang dapat Shafa tangkap adalah lelaki itu mulai memikirkan nasib Karina. Namun, hatinya tak lagi milik Karina. Mungkin yang tersisa adalah iba. Rangga dilanda kebingungan itu yang Shafa rasakan.

Ponsel Rangga berbunyi.

George is calling...

"Hallo."

"Rangga, buruan ke sini. Karina ngamuk, luar biasa ngamuknya."

"Apa?"

"Kenapa mas?" Sesaat setelah Shafa menangkap raut cemas dari wajah Rangga.

"Karina ngamuk hebat," jawab Rangga sambil berlalu mengambil kunci mobil dan melesat keluar.

"Mas, tunggu ..., Shafa ikut." Shafa ikut berlari mengejar Rangga.

"Kondisinya udah stabil, begitu aku sampai dia udah ngamuk. Dia menjerit histeris sambil bilang, 'aku kotor'," cerita George diikuti tatapan cemas di wajah Rangga.

Shafa merasakan hatinya nyeri sedikit mendengar cerita George.

Sepanjang perjalanan pulang, Shafa dan Rangga tidak ada yang membuka pembicaraan. Keduanya diam membisu. Rangga sangat fokus dengan jalanan yang ada di depannya. Sementara Shafa hanya bisa menatap pepohonan yang berjejer di pinggir jalan dalam perjalanan mereka pulang ke apartemen.

Istri yang DiabaikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang