70

61.3K 2.2K 265
                                    

Shafa mengusap air matanya dengan tisu entah yang ke berapa lembarnya. Suara di ujung telepon masih belum menjawab ucapannya. Dada George terasa sesak karena sesaat lagi Shafa sudah akan benar-benar menjadi milik Rangga.

"George ...," panggil Shafa lagi.

"Ya, Darl ...."

"Kamu nggak ikut turun? Bertemu Mas Rangga?" tanya Shafa.

"Enggak ... aku mungkin nggak turun. Kamu tau kenapa kita berada di mobil yang terpisah?"

"Enggak ...."

"Karena jika kita berada dalam satu mobil, aku yakin sekali kalo aku tidak akan mempertemukan kamu dengan Rangga. Aku akan membawamu ke Jerman. Dengan kita tidak berada dalam satu mobil, aku menjaga kewarasanku ...."

"George ... aku berharap nantinya kamu bertemu dengan seseorang yang mencintaimu dan kamu juga mencintainya."

"Aku tidak tahu ... apakah aku masih bisa jatuh cinta, Darl."

"Aku yakin kamu akan bertemu dengan wanita yang tepat nantinya, George."

Hening kembali menyelimuti.

"Aku turun ya, George. Kayaknya Mas Rangga juga udah selesai kerjaannya."

"Baiklah ... hati-hati ...."

"Hu-um. Terima kasih George ...."

Sejurus kemudian Shafa memutus kontak telepon keduanya. Sementara di ujung telepon, George menatap nanar layar ponsel yang sudah ditutup Shafa.

"Selamat jalan sayang ... hati-hati di jalan. Tidakkah sekali saja kamu memanggilku dengan sebutan sayang ....?"

Di sudut mata pria bule itu, setitik air mata sudah bertengger.

"Jalan, Pak!" titah George pada sopirnya.

Shafa menapakkan sepatu flatnya di aspal. Menyeberangi jalan yang sebagiannya ditutup karena tengah ada perbaikan. Shafa mencari sosok yang sudah sangat dirindukannya itu. Saat masih berada di mobil, Shafa sudah melihat Rangga. Meski tubuhnya kurus, wajahnya ditumbuhi rambut halus, matanya yang cekung dengan lingkaran hitam tampak jelas di sekitar kelopak mata. Sementara itu rambutnya tampak kasar dan berantakan. Rangga yang tengah berbicara dengan para pekerja itu terlihat oleh Shafa mengenakan kaus berwarna biru atau hijau. Ah, entahlah. Warnanya yang memudar hingga tidak dapat lagi dibedakan suaminya itu memakai kaus berwarna apa.

Rangga ternyata bekerja memantau proyek kecil ini. Dulu dia bekerja kasar, tetapi bosnya tahu bahwa pengetahuan teknik Rangga seputar konstruksi tidak diragukan lagi. Namun dia hanya bisa menjadi wakil mandor seperti ini sebab ijazahnya yang tidak dia bawa. Berkat kepintarannya, kedudukannya telah naik. Akan tetapi jika Rangga membawa ijazahnya, tidak mungkin dia berada di tempat ini. Akan ada panggilan pekerjaan dengan gaji tinggi.

Shafa tidak bisa membayangkan jika dia bertemu saat Rangga pertama kali bekerja serabutan begini. Mungkin keadaannya jauh lebih menyedihkan.

Matanya mencari-cari Rangga. Hingga akhirnya netranya menabrak sosok yang dia cari selama ini. Lelaki itu baru saja akan membuka bekal makan siangnya, padahal waktu sudah mendekati sore hari. Mungkin Rangga harus memeriksa terlebih dahulu beberapa pekerjaan anak buahnya. Sebab sesaat yang lalu, Rangga masih berbincang dengan beberapa anak buahnya.

Air mata Shafa terus saja tumpah. Haru bahagia sedih seolah menyerang hatinya dalam satu pukulan. Gadis itu terus mengikis jarak dengan Rangga melangkah pelan sambil menutup mulutnya.

Duduk di bawah sebuah pohon, Rangga baru saja membuka bungkus kertas nasinya, tiba-tiba saja sebutir telur rebus menggelinding dari dalamnya. Mata Rangga mengikuti kemana arahnya menggelinding. Hingga akhirnya telur itu berhenti tepat di depan sepasang sepatu seorang wanita yang tanpa dia sadari menatapnya nanar.

Istri yang DiabaikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang