48

17.2K 1K 15
                                    

"Bukannya Mas sendiri yang memberi kesempatan pada kami untuk saling dekat? Bahkan berusaha menjadi jembatan bagi kami? Mas tidak lupa kan? Mas juga bilang George laki laki tipe setia, baik. Dan Shafa memang belum menemukan celah dari kepribadiannya. Mas Rangga mau apa sih sebenernya? Kemaren ngedukung kalo kami berdua? Lalu sekarang seolah Shafa tak boleh berduaan dengannya? Terus terang Shafa bingung sama Mas! Maunya mas itu apa? Shafa deket sama George atau nggak sebenernya? Kita kan udah sepakat, mas akan memberi pengertian pada ibu tentang rumah tangga kita, lalu menceraikan Shafa? Dan jangan lupa mas sendiri yang mau Shafa sama George. Kenapa marah marah cuma gara gara makan sama George? Kalo Shafa bilang makan siang tadi adalah ajang buat kami saling mengenal lebih dekat, apa mas masih marah? "

Rangga membeku di sana. Bukan hanya Shafa yang bingung, dia juga bingung. Ya, benar. Jika itu dalam rangka pendekatan antara Shafa dan George harusnya dia tak perlu marah. Bukankah semua berjalan sesuai rencananya. Tinggal memberi pengertian pada ibu.

"Fine! Kamu benar, cuma tetep aja kamu nggak ada hak menyuruh dia makan di rumah ini sementara ibu dan aku nggak di rumah?" sesaat setelah Rangga mengucapkan itu, dia tertegun.

Kata kata itu tidak mewakili perasaannya. Bukan ini isi hatinya. Shafa yang terus memberondongnya dengan pertanyaan membuat dia mencari cari alasan dan jelas bukan itu maksudnya. Rangga sadari itu.

"Ma...af...aku nggak tahu kalo mas nggak suka aku ngajak orang asing makan di rumah ini, aku harusnya emang tahu diri, aku bukanlah menantu sesungguhnya di keluarga ini..., " hanya itu alasan yang paling masuk akal bagi Shafa melihat amarah yang diluapkan Rangga.

Tidak ada kemungkinan lain kan? Biasanya dia dan George sering makan di kantin, Rangga tak marah. Lalu kenapa sekarang marah? Pasti karena Shafa yang tak punya hak sama sekali di rumah itu. Dia bukan istri yang diingini suaminya.

Rangga membatu di sana. Jawaban Shafa menyentak hatinya. Shafa salah kira. Bukan itu alasan Rangga marah padanya. Bukan karena Shafa lancang mengajak George makan. Bukan, Rangga yakin sekali. George juga bukan orang asing di rumah itu, dia bahkan sangat sering makan bersama keluarga Rangga. Shafa semakin salah paham akhirnya

Malam itu di ruang makan rumah keluarga Dedy Hartawan tiga orang dewasa tengah menikmati makan malam mereka dengan khusyuk. Lebih tepatnya hening membisu.

Biasanya mereka akan berbincang ringan seputar makanan saja. Namun kali ini tak ada Rangga yang memuji masakan Shafa seperti biasanya. Atau Shafa yang akan menawari Rangga untuk menambah porsi makan suaminya itu. Hanya suara sendok dan piring beradu mengurangi kesunyian malam ini.

Muthia menatap anak dan menantunya bergantian. Dia dapat menilai keduanya tengah bertengkar atau mungkin ribut. Seharian tidak di rumah pastinya membuat Muthia tak mengetahui apa yang terjadi di antara dua orang yang ada di hadapannya.

"Aku sudah selesai." Shafa bangkit dari sana dengan muka ditekuk, melangkah pelan menuju kamar diiringi tatapan heran sang mertua. Shafa lebih cepat menyelesaikan makan malamnya karena porsi yang diambilnya tadi lebih sedikit dari biasanya. Muthia tahu itu.

Tak lama kemudian Rangga pun menyudahi makannya, padahal di piringnya masih tersisa setengah dari porsi biasa putranya itu makan. Fixed, Muthia yakin keduanya memang sedang bertengkar. Tapi, Muthia tak akan ikut campur.

Shafa ingin tidur sebenarnya, hanya saja matanya belum mengantuk. Hari juga belum terlalu larut. Namun demi menghindari Rangga akhirnya Shafa masuk ke ruang laundry rumah mertuanya. Sekedar memeriksa pakaian pakaian yang siap dimasukkan ke dalam walk in closet.

Shafa berdecak sebab tak satupun pakaian yang siap dimasukkan ke dalam kamar mereka. Semua tuntas dikerjakan
Rina. Dan Shafa akhirnya memilih mencuci saja.

Rangga merasa ada yang salah dengan dirinya. Mengapa dia merasa tak nyaman dengan pertengkaran mereka barusan? Biasanya Rangga tak peduli pada Shafa. Tak akan jadi pikiran seperti ini, ditambah dengan kata kata Shafa tadi menyentil hatinya. Rangga kehilangan nafsu makan jadinya.

Ya ampun, begitu Shafa bangkit dari kursi makan, mendadak Rangga tak berselera lagi melanjutkan makan malamnya. Rangga tahu Shafa tengah menghindari dirinya. Beruntung mereka tengah di rumah orang tua mereka. Jika sedang di apartemen, kemungkinan Shafa akan keluar dari apartemen.

Rangga memasuki kamar dan tak mendapati Shafa di dalamnya, padahal tadi jelas jelas dia melihat Shafa naik ke lantai dua.
Rangga tahu jika Shafa pasti menghindarinya. Sebab seperti itulah tabiat Shafa jika bertengkar atau kesal dengannya. Dia lebih memilih menghindari Rangga. Dan Rangga pun kali ini akan mengambil langkah yang sama. Menghindar.

Hari sudah hampir pukul sepuluh malam. Tak terasa, Shafa sudah mencuci pakaian pakaian kotor. Merasa malam semakin larut, dan ajang menghindari Rangga malam ini sudah cukup, Shafa memilih untuk bersegera kembali ke kamar.

Shafa tak menyangka di kamar Rangga, dia tak mendapati lelaki itu. Namun, begini lebih baik. Shafa bersegera membersihkan diri di kamar mandi dan naik ke sofa untuk melelapkan diri agar penat dan ingat seketika lenyap.

Hari sudah sangat malam. Rangga yang sengaja menyibukkan diri di ruang kerja ayahnya, padahal dia hanya mengeja email email yang sudah pernah dibukanya dulu dulu sekali, namun ironinya hati dan pikirannya malah mengembara ke mana mana. Ingatannya pada tiap tiap lafal yang dimuntahkan Shafa tadi nyatanya selalu berhasil membuat hatinya gelisah dan pikirannya kusut.

Waktu berjalan amat lama, itu yang dirasakan Rangga. Sedari tadi ingin hatinya mencari Shafa melihat wajahnya, berbicara dan merajut kembali interaksi yang dibangun Rangga di atas sandiwara namun tanpa disadarinya kian hari dia malah hanyut dalam laku perannya sendiri, seolah semua datang mengalir begitu saja, tanpa terencana dan tanpa diduga.

Ciuman, panggilan sayang tak dapat lagi dibedakannya antara sandiwara atau bukan. Jika ingin jujur, Rangga merasakan hatinya berbunga bunga kala melihat reaksi Shafa yang malu malu namun dari pancaran matanya binar kebahagiaan itu tampak jelas dan nyata, yang berhasil membuat hatinya menghangat seketika. Sebuah perasaan yang bahkan bersama Karina tak pernah dia rasakan.

Mengingat segala tingkah absurdnya yang diladeni dengan baik oleh Shafa, membuat kedua sudut bibirnya menukik. Dia rindu reaksi malu malu gadis itu. Menutup macbooknya, Rangga bergegas masuk ke kamarnya.

Hatinya seketika mencelos mendapati pemandangan yang membuat setitik hatinya berdenyut nyeri. Bukankah malam tadi dia sudah menyuruh gadis itu tidur di ranjang mereka? Lalu mengapa malam ini Shafa harus kembali tidur di sofa? Rangga termangu dari tempatnya berdiri kini. Didekati gadis yang sudah bergelung dengan selimut tipis itu.

Sudah beberapa kali dia mendapati Shafa tidur di sofa itu, namun tak pernah hatinya merasa perih begini. Mengapa baru dia sadari ada segumpal rasa tak rela melihat Shafa di sana. Ada apa dengan hatinya? Mungkinkah?

Lama Rangga termangu dan terdiam dalam pekatnya malam teriring langkahnya mendekati sofa memandang puas wajah yang berapa waktu terakhir ini mengisi ruang dalam kepala serta hatinya.

Rangga bersimpuh di sebelah sofa tempat Shafa tidur, memandang wajah manisnya. Mengusap pipi tirus gadis itu dengan punggung jari telunjuknya.

Aku up nih, buat nemenin bukanya...

Kenapa up? Aku seneng karena kalian seneng ceritanya.

Walau Shafa kelihatan lemah, tapi kalian bisa memahami isi hati Shafa. Kenapa dia bertahan sama Rangga? Jawabannya ada di Muthia.

Shafa kan yatim piatu, Muthia dan Dedy sayang sama dia. Jadi, Shafa gak tega kalo harus menyakiti kedua mertuanya.

Bagi Shafa biarlah dia yang sakit asal jangan kedua mertuanya. Jikapun harus cerai, Shafa tidak ingin menjadi sebab utama. Jika dia yang diceraikan, tidak apa baginya.

Jangan lupa bintangnya ya...
Terima kasih...

Istri yang DiabaikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang