Rangga merasakan sesuatu yang tidak biasa dari sarapannya kali ini. Rangga sudah sering mencoba bubur ayam yang dijual di luaran sana. Tapi, bubur ayamnya kali ini berbeda cita rasanya. Gurih, manis lembut bersamaan menjadikan bubur itu lezat. Rangga mencoba mengunyah perlahan hanya untuk menikmati rasanya yang berbeda tapi lezat.
"Rangga sayang ...." Karina datang mengejutkan Rangga yang tengah konsentrasi menikmati cita rasa sarapannya itu.
Tak lama kemudian George pun memasuki ruang kerja direktur utama mereka itu.
"Tumben sarapan di sini." George berkomentar
"Gua kesiangan." Rangga hanya menjawab singkat.
"Tumben ... dari jaman dulu gak pernah telat. Wah ... kayaknya lu perlu cepet nikah ni, Bro. Biar Karina yang bangunin lo tiap pagi." George menggoda Rangga.
"Uhuk ... uhuk ... " Rangga tersedak. Karina melempar note kecil ke arah George.
"Aaaw!" Pekik George.
"Eh, keinginan terpendam lo mesti gue kasi tau ke Rangga, supaya dia lebih peka, kalo curhat ke gue gak ada gunanya juga. Yang mesti tau keinginan lo untuk nikah cepet itu si Rangga. Nih gua bantu ngomong ke Rangga. Biar lo gak galau lagi!" George membuka rahasia Karina selama ini.
Beberapa waktu terakhir, Karina tak pernah lagi mendengar Rangga berbicara masalah pernikahan. Bercanda soal pernikahan juga sudah tak pernah. Karina jadi merasa tidak yakin jika Rangga juga menginginkan pernikahan ini. Sedangkan Rangga bukan tak ingin berbicara masalah itu, dia hanya tak ingin berjanji tanpa tahu kapan harus menepatinya. Dia harus menata rencana untuk meluluhkan hati ibunya dan merancang semuanya serapi mungkin agar tepat sasaran tanpa celah sedikitpun.
"Kamu curhat dengan dia Rin?" tanya Rangga serius. Rangga hanya berpikir seharusnya Karina berbicara langsung padanya.
"Sepertinya gue harus ngabur!" George melihat aura tak ramah dari wajah Rangga.
"George tunggu! Beresin kekacauan yang kamu buat ini!" Karina memekik.
"Gua gak berani, Rin! Jangan lupa tiga puluh menit lagi meeting!" George berbicara saat dirinya tengah berada di depan pintu ruangan Rangga sebelum kemudian melesat menghilang dari pandangan dua pasangan yang sedang dilanda kebingungan. Rangga bingung dengan fakta bahwa Karina ingin pernikahannya dipercepat. Sedangkan Karina bingung harus berkata apa karena kebimbangannya mulai terendus oleh Rangga.
"Kenapa kamu nggak bicara sendiri dengan aku, Rin?" Tanya Rangga memecah keheningan yang sesaat lalu menyelimuti keduanya.
"Eeeng...itu...aku...aku hanya gak mau ganggu pikiran kamu dengan hal ini, Ngga. Aku tahu tidak mudah untuk menyiapkan segalanya dengan cepat. Apalagi kita belum mendapat restu orang tua kamu. Sementara ibuku sudah bertanya tentang pernikahanku, mengingat kondisinya belum membaik." Karina menjelaskan pada Rangga dengan wajah sendu. Membuat Rangga tak enak hati. Dirinya bukan tidak mengerti posisi Karina yang hanya anak satu satunya tinggal bersama ibu yang telah mengalami kelumpuhan karena stroke. Ibunya pasti memiliki keinginan terakhir untuk melihat anaknya menikah.
Rangga menarik nafas panjang lalu berjalan menuju Karina yang sedang duduk di sofa. Rangga memilih duduk di sofa panjang di hadapan Karina. Keduanya saling bertatapan, sesaat keheningan merayap di ruang kerja Rangga.
"Maafkan aku. Soal pernikahan kita akan aku persiapkan secara matang. Aku hanya tak ingin buru buru, Rin. Aku hanya ingin fokus saat mengurusnya. Sementara perusahaan kita sedang sibuk sibuknya merambah bidang baru, perusahaan yang bekerja sama dengan kitapun adalah perusahaan yang baru bekerja sama dengan kita. Jadi, aku tak ingin fokusku terbagi. Kau mau mengerti kan? " Rangga menjelaskan pada Rangga dengan kehati hatian agar wanita itu tidak sakit hati. Karina menghela nafasnya pelan, jawaban itu masih belum memberinya kepastian tentang 'kapan' Rangga akan menikahinya.
Walaupun dikemukakan dengan lembut dan hati hati, Karina menangkap bahwa Rangga hanya ingin menghiburnya untuk saat ini. Entah apa jawaban yang akan diberikannya pada sang ibu, jika ditanya sekali lagi mengenai rencana pernikahan mereka. Sejenak Karina menyesal telah sempat mengungkapkan pada ibunya mengenai rencana pernikahannya dengan Rangga. Nyatanya hingga detik ini, dirinya masih belum terbayang bagaimana rancangan pernikahannya dengan Rangga akan terwujud.
"Ya ... aku mengerti." Akhirnya kata itulah yang dipilih Karina untuk menjawab pertanyaan Rangga. Lelaki itu pun tersenyum kemudian.
"Terima kasih."
***
Selepas meeting, George buru buru membereskan file dan map miliknya yang berceceran di atas meja rapat. Sementara Rangga masih berbincang ringan dengan pimpinan Jayana Corporation. Namun gerak gerik George tak lepas dari pengamatan Rangga. Sepertinya Rangga tahu kemana tujuan Rangga pada jam makan siang seperti sekarang ini.
"Menu hari ini sayur asem, ikan asin, ayam goreng, sambel sama tempe bacem. Yakin mau makan ini?" Tanya Shafa pada Georga yang sudah ada di hadapannya kini.
Mereka dan beberapa direktur dari berbagai divisi telah duduk manis di meja meja makan khusus eksekutif perusahaan. George awalnya tak yakin, namun sejurus kemudian lelaki itu mulai mengambilkan nasi ke piringnya dan mulai memilih lauk yang diingininya. George ingin mencobanya. Terlebih padanan menu ini Shafa sendiri yang memilihnya hari ini, karena Arif si kepala koki hari ini harus mengantar istrinya ke dokter, sedang Sari asisten koki satunya juga tidak masuk. Jadilah Shafa menangani pantry sendirian. Memutuskan menu apa lalu mengintruksikan anak buahnya untuk bekerja sesuai keinginannya.
Mengingat George yang jarang menikmati masakan lokal, membuat Shafa meringis. Dia tak tahu bagaimana reaksi pria bule itu memakan masakan Shafa yang sangat tradisional itu. Oh, ayolah sayur asem, sambel dan ikan asin? Bule seperti George akan memakan itu? Shafa jadi penasaran dengan air muka George yang mungkin menekuk atau mengerucut ketika mencoba menunya hari ini. Shafa jadi geli sendiri membayangkannya.
Keduanya telah duduk saling berhadapan di sebuah meja kecil yang hanya cukup untuk empat orang saja.
Shafa sengaja belum menyuapkan apapun, rasa penasarannya melihat mimik muka George lebih mendominasi Shafa ketimbang rasa laparnya. George yang merasa dipandangi oleh Shafa mendongakkan kepala sebelum lelaki itu menatap sejenak paket makan siangnya kali ini, sambel di mangkuk kecil, piring lalap dan semangkuk kecil sayur asem, sementara ikan asin ditaruh di dalam piring nasi."Apa?" Tanya George mendapati sepasang mata bulat memperhatikannya dengan raut seperti...ah George tak dapat membacanya. Penasaran mungkin? Tapi penasaran kenapa?
"Tidak ada, yakin mau makan itu? Kalau tidak yakin, aku bisa bikinkan sandwich tuna sekarang, dan tak akan lama. Bagaimana?" Shafa memicing kepada George.
"Ah ... tidak perlu. Aku mulai menyukai masakan Indonesia saat aku mencoba masakanmu di apartemen Rangga. Aku harus belajar makan masakan Indonesia bahkan yang tradisional sekalipun, karena aku berniat lama di sini. Menikah di sini." Saat mengatakan 'menikah di sini' , George mengatakannya dengan sedikit berbisik. Shafa tersenyum mendengarnya.
"Wow...selamat ya...kau harus mengenalkanku pada wanita beruntung yang akan kau peristri itu!" Shafa bersemangat mendengar George mengatakan itu.
"Kamu kenal dengan orangnya!"
Hai
Jangan lupa bintangnya ya
Trims
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri yang Diabaikan
ChickLitShafa gadis panti asuhan yang dijodohkan dengan Rangga seorang putra dari keluarga berada. Rangga yang sudah memiliki pujaan hati sebenarnya ingin menolak. Namun dia yang sangat menghormati ibunya tidak mampu menolak perjodohan itu. Hingga terjadi...