(10) Pulang ke Rumah

16.5K 979 2
                                    

Shafa terus memasang telinganya demi mendengar kelanjutan ucapan mertuanya itu, dirinya tak akan membuka mata. Segala doa dirapalkannya secara asal. Entah apa artinya, Shafa tak lagi peduli. Asalkan doa bukankah itu adalah baik? Sementara tangannya berkeringat tanda kegugupan mulai menyengat.

"Oh... ternyata bukan. Mungkin hanya warna kemejanya yang mirip. Tidak mungkin itu Rangga kan?" Mertua Shafa menarik nafas panjang.

"Jalan, Pak!" interupsi Muthia. Sejak tadi supir mobil memang menunggu perintah penumpangnya, karena tadi perempuan itu sepertinya sedang menunggu seseorang.

Shafa lega. Dan memutuskan untuk tetap memejamkan mata. Gadis itu tak ingin diberondong berbagai pertanyaan oleh mertuanya itu. Shafa tau, mertuanya sepanjang jalan akan bertanya hal hal yang membingungkannya sedari pagi tadi. Terutama soal ke mana Rangga yang tak muncul sama sekali hingga kepulangan mereka. Bukankah Shafa bilang, putranya itu hanya mencari angin segar? Mertuanya terlalu pintar untuk mengabaikan segala kejanggalan yang ditemuinya hari ini. Dan Shafa sadar itu, ada baiknya dirinya menghindari segala pertanyaan yang memenuhi benak mertuanya.

Muthia menoleh ke belakang, dan mendapati menantunya tertidur.

"Sebetulnya apa yang kamu sembunyikan, Shafa? Mungkinkah kamu sebenarnya tadi tau ke mana Rangga ? " Muthia bergumam sendiri, sementara supir di sebelahnya tengah bercakap di ujung telepon menggunakan handsfree. Jadi, dia tidak akan mendengar Muthia bicara kan?

Shafa mendengarnya. Ucapan mertuanya menyesakkan dada. Shafa sudah merasa sangat bersalah. Mertuanya, pusat dunianya, kesayangannya telah mencurigai dirinya. Shafa betul betul kesal. Kesal pada Rangga, pada Karina dan pada dirinya sendiri yang tak mampu membuat Rangga jatuh cinta padanya.

***

Sejak pulang ke apartemen beberapa jam yang lalu, Rangga diacuhkan oleh ibunya sendiri. Dugaannya wanita yang melahirkannya itu akan menghujaninya dengan serentetan pertanyaan seputar kejadian pagi tadi. Nyatanya tidak sama sekali. Pulang pulang Rangga menemui kebungkaman wanita paruh baya itu.

Mendapati ibunya sedang sibuk di pantry apartemennya, Rangga menduduki kursi meja makan. Dia memilih berada bersama ibunya ketimbang di kamar bersama istrinya. Muthia meminta Shafa istirahat di kamar utama. Muthia tidak tahu jika mereka pisah ranjang, jadilah akhirnya Shafa akan tidur bersama Rangga. Dan Muthia akan tidur di kamar Shafa.

Muthia sadar putranya itu tengah memperhatikannya saat ini. Menunggunya berbicara. Rangga tidak suka diabaikan. Dia memilih mendengar ibunya mengomelinya. Pengabaian adalah makna ketidakpedulian. Jika ada yang memarahimu itu tandanya engkau masih disayangi.

Selesai membuatkan sup, Muthia melepas apronnya dan bersiap menuju lantai atas membawa nampan yang mengalasi mangkuk sup , buah dan bubur untuk Shafa. Dia terus mengabaikan putranya. Rangga mulai gelisah. Ibunya tidak pernah berlama lama mendiamkannya seperti ini. Dan dia akan mencari tahu. Nampaknya Shafa tahu sesuatu tentang ini. Nanti saja dirinya akan bertanya pada gadis itu penyebab ibunya mengabaikannya hari ini. Dan itu pasti ada kaitannya dengan kejadian di rumah sakit pagi tadi.

Rangga merasa perlu mengambil alih nampan yang disiapkan untuk Shafa. dan Muthia membiarkan Rangga membawa nampan itu ke kamar mereka.

Mendapati Shafa yang tengah membaca novel, Rangga mendekat menuju nakas untuk kemudian menaruh nampan makan di situ.

Sontak gadis manis itu menutup novelnya begitu matanya menangkap bayangan suaminya berkelabat di dalam kamar. Ekor mata Shafa terus saja mengikuti pergerakan Rangga. Dan sekarang mau tak mau Shafa harus menatap wajah suaminya sebab lelaki itu telah duduk di sisi ranjang mereka.

"Kau tidak mengatakan apapun kan pada ibu? ", desis Rangga.

Shafa mengerutkan dahinya, menatap dengan sinis suaminya itu. Sesaat keduanya bertatapan dengan sengit. Dari semua perbuatan yang dilakukan Rangga tidakkah ada kata kata lain yang dapat keluar dari mulut berbisanya itu?

Setelah membuat kakinya retak, meninggalkannya begitu saja dini hari itu, kemudian meninggalkannya di rumah sakit hanya untuk menemani Karina, sampai ibu dan istrinya pulang dengan layanan transport online. Tidakkah kata yang pertama didapati Shifa adalah ucapan permintaan maaf? Apakah satu kata itu sulit diucapkan seorang Rangga, ataukah memang Shafa yang tak pantas menerima kata itu. Apa karena dirinya yang memang datang dari tempat rendah dan hina, atau karena dirinya tidak diingini suaminya sehingga satu kata manis pun tak berhak didapatinya meski itu sebuah permintaan maaf yang memang pantas diucapkan Rangga karena kesalahanya.

Pikiran Shafa penuh dengan pertanyaan yang jawabannya tak akan ditemukannya.

"Menurutmu? " Shafa berbalik bertanya sinis.

"Jangan bermain denganku! Sudah kukatakan untuk merahasiakan semuanya dari ibu. Apa kau tidak mengerti!? " Rangga mulai emosi. Sekalinya saja, kepala lelaki itu menoleh ke arah pintu untuk memastikan kembali jika pintu kamar terkunci dengan baik.

"Maaf sekali... Aku tak sebodoh itu untuk menyakiti hati ibu. Jika memang perlu, aku akan mengatakan pada ibu bahwa setiap hari aku bahagia dengan suamiku. Tidak akan pernah kutunjukkan luka dan tangisku padanya. Tidak akan pernah! Andai saja ibu meminta nyawaku, aku akan berikan, apalagi hanya menutupi lukaku. " Shafa tak lagi menahan diri untuk mengungkapkan isi hatinya.

Sudah cukup tuduhan Rangga tersebut. Rangga sama sekali tidak tahu bahwa dia mati matian menutupi pengkhianatan suaminya atas janji sucinya di hadapan Tuhan. Serta bagaimana kacaunya suasana hati gadis itu jika mengingat segala kebohongan yang mereka buat. Ya, secara sadar Shafa juga telah mendukung kebohongan suaminya. Dan itu membuat batinnya memberontak. Perang batin yang dialami Shafa pun tak kalah melelahkan hati.

Mendapati jawaban Shafa, Rangga mendengus. Dirinya terlalu gengsi untuk menerima mentah mentah ungkapan hati Shafa. Dia tidak akan terhanyut dengan itu, jangan jangan perempuan itu hanya ingin menarik simpatinya dengan ucapannya itu. Itulah isi pikiran lelaki itu.

"Kalo saja kamu bicara tentang rumah tangga kita, aku tak akan segan segan mengusirmu atau menyakitimu! Ingat itu! "

Blaaaam...

Sebentar kemudian lelaki itu meninggalkannya sendiri di kamar. Shafa terdiam sejenak mencerna apa yang baru saja terjadi. Shafa pun menangis sesegukan meratapi nasibnya kini.

Terdengar sayup dari depan kamar, Muthia mertuanya mengetuk pintu sembari memanggil namanya lembut.

"Fa, Shafa... Ibu boleh masuk? "

Secepat kilat Shafa menghapus jejak air matanya menggunakan kedua punggung tangannya.

"Ya Bu... Masuk saja.. Nggak dikunci." Shafa menjawab dengan suara seraknya yang sangat kentara seperti habis menangis.

Ceklek

"Udah habis buburnya, Fa?" Tanya wanita itu lembut berjalan mendekati menantunya yang sedang duduk dengan kaki yang diluruskan itu.

"Belum, bu. Masih panas," Jawab Shafa asal. Mata mereka saling bertatapan sesaat. Shafa memutus kontak mata di antara mereka, karena menyadari wajahnya yang selalu nampak jika habis menangis. Dan dia tak ingin mertuanya tahu.

Semakin dekat Muthia melangkah, semakin jelas apa yang dilihatnya. Memicingkan mata tanda dirinya menyelidiki yang terjadi pada menantunya. Semakin dekat, Muthia dapat memastikan jika Shafa baru saja menangis.

Sebentar kemudian, Muthia sudah berada di sisi ranjang dan mengangkat dagu Shafa ke atas dengan telunjuknya demi untuk memastikan dugaannya. Dan sekarang mata mereka tengah bertatapan. Shafa tak lagi bisa menghindarinya.

"Ada apa Shafa? Apa yang membuatmu menangis? Apa yang dilakukan Rangga padamu? Ceritakan pada Ibu. Jangan ada yang disembunyikan lagi!"

Hai aku up nih...
Jangan lupa bintangnya...
Terima kasih

Istri yang DiabaikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang