39

17.1K 989 11
                                    

Shafa menggeleng samar seolah ragu dengan jawabannya sendiri. Ada bibit pelakor? Jelas ada.

"Kamu tahu sayang ... bisa aja dia makan dengan sekretarisnya, lalu lama kelamaan ada affair. Atau rekan kerjanya," lanjut Muthia.

Ya ampun Ibu ... Ibu telat ... emang udah ada pelakornya. Kata batin Shafa.

"Selama Shafa di kantin, ya makannya di kantin Bu, kadang kadang aja Mas Rangga makannya di luar kalo ada rapat dengan rekannya, Bu," imbuh Shafa.

"Nah, makan siang hari ini kamu telpon gih, mau dianterin atau dia pulang ke rumah? " titah ratu.

"Iya Bu..."

Tut...tut...tut...

"Hallo"

"Mas, makan siang mau pulang atau dianterin? Ibu nanyain ...."

"Hmmm...pengennya sih pulang aja. Lagian nggak ada kerjaan yang bener bener krusial."

"Oh...jadi?"

"Ntar sejam lagi deh, aku telepon. "

"Oh oke"

                                 ***

Matahari sudah sangat terik. Bintang terbesar itu bersinar sudah lewat dari atas kepala saat ini.

Waktu sudah berlalu beberapa jam sejak Shafa menelepon Rangga. Lelaki itu berjanji akan meneleponnya kembali. Nyatanya sudah jauh dari waktu yang dijanjikannya itu, Rangga tak kunjung menelepon.

"Yuk...makan...udah...paling emang dia ada janji makan siang sama klien." Muthia membuyarkan keterdiaman Shafa. Muthia tahu menantunya itu masih menunggu Rangga menelepon.

"Eh i..iya...Bu... " jawab Shafa.

"Ibu tega banget ... anaknya nggak ditungguin makan bareng, " tiba tiba Rangga masuk ke dalam ruang makan mereka yang disambut sunggingan senyum oleh Shafa.

Entah mengapa Shafa menjadi berbunga bunga melihat Rangga datang untuk makan siang bersama mereka. Namun, sedetik kemudian rasa bahagia dalam hatinya harus dienyahkan. Shafa yakin semua ini bagian dari sandiwara yang diperankan Rangga demi memperlihatkan pada ibu mertuanya bahwa pernikahan mereka adalah pernikahan yang bahagia.

Ekor mata Shafa menangkap langkah kaki Rangga mendekati dirinya yang telah duduk di kursi makan sejak tadi. Hingga...

Cup

"Hai sayang... " kecupan singkat di pipi kanan Shafa sontak membuatnya menegang sesaat, tanpa diduga Shafa sama sekali jika Rangga harus berlakon sejauh ini. Dalam perjanjian mereka sebelum pulang ke rumah orang tua Rangga, mereka hanya sepakat untuk cium tangan sebelum Rangga berangkat bekerja dan tidur sekamar. Dan bukan seperti ini, cium pipi begini. Ini di luar kesepakatan! Bolehkah Shafa berharap lebih?

Shafa yang masih mematung tak sadar jika Rangga sudah duduk di sebelahnya.

"Sayang ... jangan melamun. " bisik Rangga namun masih dapat didengar oleh Muthia yang disikapi senyum senyum oleh wanita paruh baya itu.

"Cepet bikin cucu buat Ibu ya, Fa." terkekeh Muthia kemudian.

"Uhuk...uhuk..." Rangga yang sedang menenggak air mineral tersedak jadinya mendengar ucapan ibunya. Shafa menepuk lembut punggungnya untuk meredakan tersedaknya Rangga.

"Mas mau makan apa? Shafa ambilin," Shafa memilih mengalihkan perhatian ketimbang meladeni tingkah Rangga yang absurd dalam kaca matanya dan menghindari mertuanya untuk berkata lebih mengenai cucu tadi.

Istri yang DiabaikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang