(4) Masih Diabaikan

19.1K 1.1K 13
                                    

Sementara itu di apartemen Rangga, Shafa masih dengan sabarnya menunggu suami pulang. Kulkas yang kosong pagi tadi telah terisi penuh. Shafa berbelanja di minimarket yang masih terpadu dengan apartemen Rangga. Shafa masih memiliki tabungan hasil selama bekerja di pabrik sepatu tak jauh dari panti.

Walaupun Shafa belanja kebutuhan rumah tngga yang notabene adalah tanggung jawab Rangga, Shafa merasa meminta uang pada suami di hari pertama menikah adalah perilaku yang kurang pantas.

Ceklek

Rangga memasuki apartemennya disambut Shafa di tepi meja makan apartemen mereka. Rangga melirik meja makan yang nampak penuh dengan bermacam masakan. Tanpa berniat untuk sekedar say hallo pada Shafa, Rangga melangkahkan kakinya dengan ritme sedikit cepat. Tanpa mengindahkan keberadaan Shafa sama sekali. Lagi lagi Shafa diabaikan. Pedih. Perih.

Namun Shafa harus kuat, harus bertahan. Setidaknya itulah nasehat ibu mertuanya yang lekat dalam ingatannya. Muthia mungkin punya firasat tersendiri mengenai masa depan rumah tangga anaknya kala itu.

"Mas, ayo kita makan dulu. Aku sudah masakkin udang dan temen temennya." Shafa mencoba membujuk Rangga yang telah berada di anak tangga pertama.

Cih...garing pikir Rangga.

"Kamu makan aja sendiri. Aku sudah kenyang, aku tidak terbiasa makan di rumah. Aku terbiasa makan di luar selama ini." Rangga berkata tanpa menatap Shafa, sambil terus melangkahkan kakinya ke kamar.

Blaaammm...

Shafa menutup matanya lama mencoba menjernihkan pikiran melihat kelakuan suaminya selama ini. Sedih rasanya seharian ini semua dipersiapkan Shafa dengan setulus hati. Berharap malam ini dapat memberikan pelayanan selayaknya seorang istri.

Tidak taukah Rangga, bahkan Shafa harus bolak balik mengganti belanjaannya, menukar atau mengembalikan belanjaannya demi menimbang apa yang perlu dibeli atau tidak, mengingat uangnya terbatas, yang tentunya dia harus menghemat.

Tiba tiba setelah dimasak, Rangga tidak ingin menyentuhnya. Makanan ini susah payah dibeli dan dimasak, dimakan sendiri pun tidak akan sanggup Shafa menghabiskannya. Kalau siang hari tidak akan membingungkan karena banyak di luaran sana yang mau menikmati makanan Shafa. Tapi ini malam hari. Kemana Shafa akan mengantar makanan yang banyak ini. Ya Tuhan, sabarkan hati hambaMu ini, kata hati Shafa.

Duduk kembali di meja makan, Shafa mulai mengisi perutnya yang sudah keroncongan dari tadi, hari sudah pukul sepuluh malam, Shafa belum makan, karena menunggu Rangga pulang untuk makan bersama. Shafa pun makan ditemani keheningan malam itu.

Sendiri.

***

Hari hari masih berjalan seperti biasanya. Tak ada kemajuan yang berarti. Shafa masih terus berusaha memberikan pelayanan terbaik pada sang suami. Namun, sama seperti sebelumnya, tidak ada yang ditanggapi dengan positif oleh lelaki itu. Semakin perih rasanya luka yang ditorehkan sang suami.

Seperti pagi ini, dengan berjinjit pelan, Shafa mengambilkan pakaian kerja yang akan dipakai suaminya. Lalu meletakkan di tempat tidur seperti hari hari sebelumnya. Shafa tetap saja memilihkan pakaian suaminya tiap pagi walaupun tiap pagi pula Rangga akan memakai pakaian yang berbeda dari yang dipilihkan Shafa. Selalu seperti itu. Setiap hari. Tanpa kecuali.

Shafa sedang asyik berkutat dengan alat masaknya, hari ini menu yang dipilih adalah nasi goreng, sebetulnya nasi goreng adalah pilihan terakhir masak untuk hari ini, sudah seminggu sejak Shafa berbelanja di minimarket yg lalu, stock bahan makanan di kulkas pun menipis. Hanya ada telur dan sayur kol yang akan dimasak Shafa untuk campuran nasi goreng.

Ah, lelaki yang tak lain adalah suaminya itu belum memberikan nafkah sama sekali. Shafa berpikir positif mungkin karena suaminya lupa. Walaupun Shafa yang sebagai istri tidak pernah absen membuatkan sarapan serta makan malam yang tidak pernah disentuh Rangga, setidaknya Shafa sudah berusaha. Makanan yg tidak dimakan Rangga di malam hari akan disimpan lalu dimakan keesokan harinya oleh Shafa sendiri. Jadi jika tiba siang hari, Shafa tidak perlu memasak lagi.

Adapun sarapan karena menunya akan berbeda dengan menu makan siang, Shafa hanya akan menyiapkan satu porsi, karena Shafa tahu Rangga tak akan menyentuh sarapan buatannya. Tapi tak ayal, tiap pagi Shafa tetap akan menawari suaminya sarapan.

Jadi tiap pagi Shafa hanya memasak untuk dirinya sendiri sejatinya. Shafa akan berhemat, karena sudah satu minggu namun nampaknya Rangga belum berniat memberikan nafkah lahir dan batin sama sekali.

Nasi goreng buatan Shafa sudah siap. Tinggal menatanya di atas piring. Tak lama, lelaki tampan itu pun turun dari lantai atas. Shafa menoleh pada suaminya yang dingin itu. Jas yang dipilihkan Shafa tadi berwarna biru navy, nyatanya yang dipakai Rangga berwarna hitam. Hanya dasi yang dipilihkan Shafa dipakai Rangga. Shafa tersenyum tipis. Hmmm...lumayan, ada kemajuan sedikit. Sedikit? Seujung kuku mungkin. Shafa tertawa miris dalam hati.

"Mas..., sarapan dulu...aku buatkan nasi goreng. Nasi goreng spesial ala Shafa." Shafa tahu meski dirinya selalu berusaha membuka percakapan dengan hangat dan berusaha mencairkan suasana yang selalu beku, nyatanya hal itu selalu dianggap angin lalu oleh Rangga. Tentu saja itu semua karena tidak terbangun chemistry di antara mereka.

Rangga menarik nafas panjang mencoba melepaskan kekesalannya karena Shafa tidak berhenti berpura pura baik setelah diperlakukan tidak baik olehnya. Padahal sesungguhnya Shafa hanya berusaha menjadi istri yang baik. Dijadikan keluarga oleh Dedy Hartawan dan Muthia Anggraeni sebuah anugerah bagi Shafa. Sekarang Shafa memiliki keluarga. Shafa ingin keluarganya utuh dan bahagia.

Muthia sang mertua adalah kekuatan yang dimiliki Shafa saat ini. Saat hatinya letih dan kakinya lemah untuk melangkah kembali menuju pernikahan yang hakiki, ingatan Shafa pada sang mertua adalah kekuatan.

Dengan tertatih Shafa akan terus melangkah berusaha menembus dinding pertahanan Rangga yang sudah terlalu menjulang tinggi dibangun oleh lelaki itu. Shafa terus berusaha agar ibu mertuanya bahagia. Walau dirinya yang akan berpeluh keringat dan air mata bahkan darah sekalipun.

Rangga masih setia dengan ayunan langkahnya sembari menjawab Shafa,

"Setiap hari kau bertanya apa aku sarapan atau tidak. Dan jawabannya tetap sama." Rangga berbicara tanpa menatap Shafa sama sekali.

Rangga memakai sepatunya, lalu melangkah ke pintu apartemen lalu keluar dan menghilang bersamaan dengan ditutupnya pintu itu.

Shafa berdiri dengan tatapan nanar dan mulai mengabur. Luapan sungai air mata menggenang siap meluruh hanya dengan satu kedipan mata. Shafa mulai lelah. Seminggu ke belakang Shafa masih berusaha menahan hatinya untuk tidak bersedih. Menyemangati diri dengan pikiran bahwa batu pun akan luluh oleh tetesan air. Nyatanya dirinya tidak sekuat itu.

Setiap hari diabaikan. Setiap hari dianggap tidak pernah ada. Tidak dihargai sedikitpun usahanya. Sungguh membuat dirinya lelah. Shafa bukan robot yang tidak memiliki perasaan. Perkataan Rangga barusan seolah mempertanyakan apakah Shafa tidak bosan mengajaknya sarapan.

Dan Shafa menangkap siratan kalimat itu yang bermakna Rangga bosan dengan ajakan sarapan dari Shafa, Rangga bosan setiap pagi menemui Shafa di pantry apartemennya, Rangga bosan Shafa mengiringi keberangkatannya ke kantor dengan tatapan mata sayunya.

Hingga hatinya terluka mendapati kenyataan itu. Dipikir lelaki itu Shafa tidak bosan memasak tiap hari lalu menghabiskannya sendiri tiap hari. Sungguh membosankan. Tapi komitmen pernikahan tidak sesederhana itu.

Komitmen pernikahan lebih utama dari hanya sekedar rasa bosan yang mendera sepasang insan manusia. Meski dihinggapi kebosanan diabaikan suami, Shafa lebih memilih untuk tidak menanggapi sikap suami yang melelahkan hati.

Tapi pagi ini, kebosanan dan keengganan Rangga akan keberadaan Shafa, membuat kekuatan Shafa melemah. Ya, Shafa mulai kehilangan kepercayaan diri untuk merajut tali ikatan pernikahannya dengan Rangga.

Terima kasih sudah membaca...
Jangan lupa bintangnya ya...

Istri yang DiabaikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang