(11) Tragedi Dasi

19.8K 1K 8
                                    

Shafa menggenggam telunjuk mertuanya, menurunkannya. Sebentar saja kedua tangannya membungkus lengan wanita paruh baya itu untuk mengarahkan Muthia menduduki ranjang Rangga.

Tersenyum sangat lebar, Shafa segera memeluk mertuanya.

"Tidak ada yang Shafa sembunyikan, Bu." Shafa melepas pelukannya lalu mengecup pipi Muthia dengan lembut.

"Aku sayang Ibu," katanya kemudian.

Muthia memukul pelan lengan rapuh itu. Seraya berkata, "Anak bodoh! Tentu saja kau sayang ibu. Dan jangan coba coba mengalihkan pertanyaan Ibu! Jawab Ibu, ada apa dengan matamu yang merah ini? Hidung yang seperti tomat? " Muthia menyentil cuping hidung menantunya.

Shafa tahu wajahnya sehabis menangis tak mudah disembunyikan. Apalagi di depan mertuanya. Tapi bukan Shafa namanya jika dia tak mampu menenangkan Muthia.

"Ibuku sayang. Tidak ada apa apa. Tadi, Shafa menonton drama korea dari youtube lalu...ah... Ibu tau sendiri kan Shafa sering nangis kalo nonton drakor." Shafa mencicit.

"Dasar! Kan udah ibu bilang jangan keseringan nonton itu. " Tak urung mata Muthia membulat mendengar alasan Shafa. Gadis itu meringis.

"Sini deh Bu... Peluk Shafa... Shafa kangen pelukan Ibu... " Muthia memapas jarak di antara keduanya. Gadis itu pun bersandar manja di dada mertuanya. Memejamkan mata dan meresapi kenyamanan berada pada pelukan mertuanya itu. Ingin hatinya menangis, mengadu segala resah, berkeluh kesah. Tapi Shafa sadar itu semua tidak akan berbuah kebaikan, baik untuk mertuanya, dirinya, apalagi Rangga. Yang perlu dilakukannya hanya menyimpan dukanya sendiri hingga batas yang dirinya tak akan sanggup menghadapi. Walaupun Shafa berharap dirinya tak akan menemui hari itu.

Muthia menarik nafas panjang. Dirinya tahu telah terjadi sesuatu pada kedua anaknya itu. Muthia bukan wanita bodoh. Tangannya yang mulai keriput itu mengelus helai legam milik Shafa yang panjangnya sepinggang itu.

"Jika ada yang menyakitimu, katakan pada ibu, ya? Siapapun itu, bahkan Rangga sekalipun. Bagiku kau dan Rngga sama sama anak ibu. Tidak ada menantu. Kalian berdua anak ibu. Jadi, jika Rangga bersalah padamu ceritakan pada ibu. Ibu tak akan membelanya. Kau paham, hmmm? "

Shafa menjawab lirih dalam pelukan Muthia.

"Ya, Bu."

Aku tak akan bercerita apapun jika itu hanya akan melukaimu, Bu. Walau itu harus kulewati dengan darah sekalipun, biarkan aku terus menjaga hatimu dan juga ayah, Bu. Batin Shafa.

Dari dinding di samping pintu kamar utama apartemen itu, Rangga mendengar dengan jelas pembicaraan keduanya. Bersandar di dinding itu, Rangga menatap langit langit dengan pikiran yang mengembara. Rangga memang sengaja menguping pembicaraan istri dan ibunya. Untuk mendapati kebenaran yang sedang ia cari.

Ternyata kebungkaman ibunya bukan karena pengaduan Shafa. Entah karena apa, Rangga masih memutar ingatannya tentang kejadian sebelum mereka di rumah sakit yang menyebabkan ibunya membisu. Nyatanya Rangga belum menemukan jawaban yang tepat. Kecurigaannya pada Shafa telah gugur baru saja. Dan lagi, istrinya itu menyimpan rapat tentang kelakuannya di rumah sakit. Rangga merenggut rambutnya frustasi. Dia harus bicara dan bertanya pada ibunya itu. Kalau saja ibunya tidak bertekad menginap sampai kaki Shafa sembuh, tentunya dia tak akan susah payah. Namun, jika ibunya akan tinggal lebih lama lagi, dirinya takkan sanggup didiamkan oleh ibunya seperti ini. Lebih baik diluruskan jika ada yang mengganjal dengan hati ibunya itu.

                                  ***

"Ayolah, Bu. Bicaralah! Omeli saja aku. Ibu tau aku tak suka ibu diamkan begini. Kalo nggak... Ibu minta ayah pukul aja aku, kalo dengan omelan tidak cukup. " Rangga terus saja mengikuti ke mana saja ibunya berjalan. Mulai dari memasak, menata makan malam, lalu menonton tv, semua kegiatan ibunya diekori lelaki tampan itu. Bak anak itik yang mengikuti ke mana saja induknya pergi.

Sejak kepulangan Rangga dari kantor, ibunya sangat risih mendapat perlakuan Rangga yang seperti anak kecil. Lama lama, Muthia pun tak tahan dibuat putranya seperti itu. Menghela nafasnya Muthia pun berkata.

"Kau ini sungguh tak peka! " dipukulinya anak lelakinya itu dengan majalah yang sedari tadi hanya dipeganginya.

"Aaawww" Pekik Rangga.

"Ibu bukannya bicara, malah memukulku. Ayolah bicara, Bu. Katakan apapun asal jangan mendiamkanku " Rangga berdecak malas.

"Baik. Kemarilah," titah ratu sembari menepuk sofa ruang tamu.

Rangga menghampiri ibunya untuk kemudian duduk berdempetan dengan wanita paruh baya itu.

"Kau tahu salahmu di mana? " Ibunya bertanya tegas, Rangga menggeleng. Muthia menjewer telinga anaknya.

"Laen kali jangan ditinggal istrimu yang sedang sakit. Kamu kan bos! Masa menemani istri sakit saja tidak bisa. Ibu yakin ayah tidak akan marah! " Omel Muthia.

"Iya Bu. " Sekarang Rangga dapat menarik nafas lega. Ibunya tidak lagi marah dan alasannya marah bukan karena Karina. Untuk saat ini Rangga masih merasa aman dengan merahasiakan hubungannya dengan Karina.

                                  ***

Saat ini Muthia sudah kembali ke rumah besar. Muthia telah selesai merawat Shafa. Kaki Shafa sudah sepenuhnya sembuh. Gadis itu pun kembali beraktifitas seperti biasanya. Ibu Rangga pun kembali ke rumah yang ditempatinya bersama suami kemarin sore. Tugasnya mendampingi Shafa yang sedang sakit selesai sudah.

Belum banyak yang berubah dari kehidupan rumah tangga Rangga dan Shafa. Seperti pagi ini Shafa tetap membuatkan sarapan untuk Rangga yang selalu akan dilewatkannya.

Dari arah tangga Shafa dapat mendengar derap langkah suaminya itu menuju pantry tempatnya menyiapkan sarapan. Shafa tidak menoleh sama sekali.

"Di mana dasi warna maroon dengan corak abstrak yang sering kupakai? " Dengan nada dingin Rangga bertanya pada Shafa yang akhirnya menoleh juga pada Rangga.

"Sejak mas pake kemaren lusa, aku tidak melihatnya lagi. Di keranjang cucian pun rasanya tidak ada, " Shafa menjawab Rangga dengan tetap fokus pada nasi gorengnya yang masih diaduk di wajan.

"Matikan kompornya. Lagipula kau membuat sarapan untuk dirimu sendiri. Sekarang cepat cari dasiku! " Rangga berbicara dengan nada agak tinggi. Mungkin gusar karena jawaban Shafa yang nyatanya tidak melihat dasi itu.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Setelah kompor mati, Shafa bergegas menuju ruang laundry. Dibongkarnya lemari, keranjang laundry, gantungan baju bahkan hingga di celah celah bawah lemari dicari oleh Shafa. Nyatanya hasilnya nihil. Ruang laundry yang tadinya sudah rapi, sekarang jadi berantakan. Rangga yang sedari tadi bersender di pintu ruang itu sambil bersedekap berdecak kesal.

"Aku sama sekali nggak liat, mas. Beneran." Shafa menatap Rangga dengan tatapan gugup. Gugup mendapati sorot tajam dan dingin dari Rangga.

Rangga berjalan pelan mendekati Shafa memapas jarak keduanya. Shafa berdiri dengan tegang, aura kemarahan mulai nampak dari mata legam itu. Dari jarak yang hanya satu jengkal saja, Rangga mencengkeram lengan Shafa dengan kuat. Shafa terus saja menundukkan kepalanya karena gugup.

"Jangan bercanda! Dasi itu pemberian seseorang yang sangat spesial bagiku." Shafa berdesis merasakan perih di lengannya itu.

"A-ku ti-dak bercan-da." Jawab Shafa terbata bata karena dihantui kegugupan, sementara netra gadis itu terus menatap lurus ke depan yang pandangannya hanyalah dada lebar Rangga.

Rangga mencengkeram rambut Shafa bagian kepala belakangnya, sehingga kepala Shafa mendongak ke atas, dan mata mereka beradu.

"Aku tidak mau tahu, temukan dasi itu hari ini juga!" Rangga melepas tangannya dari rambut Shafa. Sejurus kemudian lelaki itu meninggalkan Shafa yang terduduk di lantai sembari menangisi dirinya.

Terima kasih udah mampir
Jangan lupa bintangnya ya

Istri yang DiabaikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang