Sejenak semua diam memperhatikan apa yang akan dibicarakan Rangga. Sejurus kemudian Rangga kembali melanjutkan perkataannya,
"Gimana kalo dia di katering kantin kantor aja, menurut lo oke nggak George?"
"Ya ampun Rangga, masa sih di situ? Kenapa nggak di kantor aja, sih? Kan biar gue bisa pedekate lebih intens kalo dia di kantor. Biarin aja SMA tarok di mana kek, kan dia bisa belajar, Rangga ... lama lama juga bisa kok." George membantah Usul Rangga.
"Gue cuma gak mau timpang entar sama karyawan laen. Lagian yang penting masih di lingkup kantor kita, George. Kan bisa juga lu ke kantin, atau minta dia ngnterin makanan buat lo. Kecuali lo nggak bisa makan makanan lokal, George. Tapi dari yang gue liat lu rakus juga semalem." Rangga panjang lebar membujuk George untuk menerima usulannya, dan kata penutupnya dijadikan pelampiasan kekesalan karena George tak menyisakan makanan yang dimasak Shafa.
"Lu tau nggak, masakan Shafa pengecualian. Ntah kenapa masakan dia cocok di lidah gue." George menerawang ke langit langit, mengingat kembali momen kebersamaannya semalam bersama Shafa.
"Dasar! Bule nggak tau diri! Sekarang Gimana tawaran gue? Kan bagus tu lu bisa minta masakin dia tiap hari," bujuk Rangga.
"Bener juga. Tarok dia di koki aja kalo gitu, Ngga," pinta George.
"Ngaco lo! Ya jangan lah, Arif lo tarok di mana. Dia kan udah lama jadi koki. Shafa asistennya aja, gimana?" tawar Rangga.
"Deal!" Akhirnya George setuju.
***
Hari telah menuju tengah malam. Shafa masih dengan setianya menunggu Rangga dengan menu udang goreng tepung dan sayur sop yang sudah disusun di meja makan. Menguap pun sudah beberapa kali, namun gadis itu tetap sabar pula menahan kantuk yang menyerangnya. Netra madu itu sesekali melihat ke arah pintu utama, namun tanda tanda kepulangan Rangga sama sekali belum terlihat.
Ceklek
Shafa terkesiap mendengar pintu terbuka. Dan menunggu nunggu kedatangan Rangga di dapur.
"Mas, sudah makan?" Shafa bertanya kala netra mereka telah bertemu dengan jarak tak terlalu jauh.
"Sudah." Rangga berjalan menuju meja makan dan memilih kursi yang berhadapan langsung dengan Shafa.
"Mau kubuatkan teh?" Tawar Shafa. Rangga hanya menggeleng.
Gestur Shafa berubah jadi gugup. Pikirnya Rangga telah makan, dan biasanya memang dia tak akan menyentuh makanan Shafa terkecuali suaminya itu sedang lapar. Rangga menatap dalam mata Shafa. Shafa gelisah dengan tatapan Rangga, gadis itu tahu ada sesuatu yang serius yang ingin disampaikan suaminya itu.
"Ada yang ingin aku katakan." Rangga memulai pembicaraan mereka.
Shafa diam memperhatikan dengan seksama kata per kata yang disampaikan Rangga.
"Kau tahu, pernikahan kita tidak dilandasi cinta ... " Rangga sengaja menggantung ucapannya hendak melihat reaksi istrinya itu atas pernyataannya barusan.
Shafa menelan ludahnya. Dia masih belum bisa menebak kelanjutan ucapan Rangga. Tapi, firasatnya mengatakan ini bukan sesuatu yang baik untuk dirinya.
"Aku tidak pernah menganggap pernikahan ini adalah pernikahan sesungguhnya seperti yang dialami orang kebanyakan dan mungkin tidak juga seperti persepsimu tentang pernikahan ini." Rangga menghela nafas sebelum melanjutkan kembali ucapannya.
Sementara telapak tangan Shafa tengah menggenggam erat erat bagian dress nya yang ada di paha dan menjadikan kain di bagian itu kusut. Gadis itu bertambah gugup dengan ucapan Rangga.
"Sebelum aku menikahimu, aku sudah mempunyai kekasih, dan berencana akan menikahinya." Rangga diam sejenak mengamati gestur tubuh istrinya itu. Shafa hanya mematung dan tidak bereaksi apapun. Gadis itu berusaha menahan tangisnya.
"Jadi, aku ingin katakan kita tidak perlu repot repot menjalani rumah tangga ini sebagaimana yang ada dalam mimpimu tentang sebuah rumah tangga, karena aku tak berniat mengarunginya bersamamu." Cukup sudah. Shafa tak tahan lagi mendengar perkataan Rangga.
Dikiranya Rangga perlahan akan melihat dirinya ketika dia menjalankan semua tugasnya sebagai istri, dan perlahan melupakan Karina. Ternyata itu hanya angan belaka. Menggantikan Karina di hati Rangga mustahil dilakukan. Kesabarannya selama ini sia sia saja. Suaminya itu belum bisa melupakan Karina dan melihat dirinya secara utuh.
"Jadi, mas mau apa?" Shafa bertanya, agar Rangga tak lagi melanjutkan ucapannya yang akan membuat dadanya sesak.
"Aku ingin kita menjalani hari hari kita masing masing. Kamu dengan dirimu sendiri dan tak perlu mengurusi aku seperti istri istri orang kebanyakan. Aku pun juga begitu." Jelas Rangga akhirnya.
"Lalu bagaimana dengan ibu? Mas tega berbicara tentang hal ini pada ibu?" tanya Shafa.
"Aku tahu ibuku, aku bisa membujuknya. Yang aku butuhkan hanya waktu yang tepat untuk berbicara padanya. Tapi, tidak dalam waktu dekat. Paling lama satu tahun bagiku untuk membuat ibu menyetujui permintaanku. Dan untuk waktu satu tahun itu, mari kita jalani kehidupan kita masing masing, tak usah saling peduli, karena bisa merepotkan dan melelahkan bukan?" Rangga memiringkan kepalanya sedikit.
Shafa menunduk mencermati tiap tiap kata yang diucapkan Rangga.
"Kau ingat kasus dasi maroon itu? Kalo kau tak mengurusiku mungkin hal itu tak akan terjadi. Kita sama sama repot kan akhirnya," lanjut Rangga.
Masalahnya aku sama sekali tak membuang dasi itu di kotak sampah... Kata hati Shafa.
"Lalu selama satu tahun itu, bagaimana sikap kita di depan ibu. Terus terang aku tak sanggup mengecewakan ibu." Shafa kembali menggenggam erat dressnya.
"Memangnya kau pikir aku sanggup! Apa maksud ucapanmu itu? " Rangga tersinggung dengan ucapan Shafa.
"Mak--mak--maksudku sebelum mas berhasil meyakinkan ibu, ada baiknya kita rahasiakan dulu rencana ini. Kita bersikap seperti biasanya kita selama ini di depan ibu," jelas Shafa dengan kegugupan.
"Oke, aku setuju," jawab Rangga
Hening sejenak.
"Sepertinya George tertarik padamu." Shafa terhenyak mendengarnya.
"Dia sudah terang terangan mengatakannya padaku," lanjut Rangga.
"Bagaimana bisa? Harusnya dia tidak seperti itu, statusku ... "
"Aku tidak bilang kau istriku." Dengan cepat Rangga menyanggah kata kata Shafa.
"A...a..apa? Jadi, dia tidak tau bahwa kita menikah?" tanya Shafa terbata bata. Kakinya melemah seiring pertanyaan yang meluncur dari bibirnya. Rangga menggangguk.
"Aku cuma bilang kamu anak angkat ibu. Toh itu juga tidak salah kan? Aku tidak bohong tentang itu, tentu saja," tukas Rangga.
Shafa juga ingat mengenai hari di mana George datang, Rangga mengatakan dirinya anak angkat ibunya, dan tidak memberikan kesempatan sama sekali pada Shafa untuk bercerita banyak soal asal usul Shafa. Rangga hanya bilang Shafa anak angkat dan pernah tinggal di panti. Pantas saja hari itu Shafa meras a ada yang aneh saat mereka berkenalan. Rangga seperti tengah menutup nutupi siapa Shafa sebenarnya, dan malam ini adalah buktinya.
"Apa pendapatmu tentang George?" Tanya Rangga.
"Maksud Mas apa?" tanya Shafa heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri yang Diabaikan
ChickLitShafa gadis panti asuhan yang dijodohkan dengan Rangga seorang putra dari keluarga berada. Rangga yang sudah memiliki pujaan hati sebenarnya ingin menolak. Namun dia yang sangat menghormati ibunya tidak mampu menolak perjodohan itu. Hingga terjadi...