42

17.5K 1K 28
                                    

Shafa menggeleng, sementara tangan George sudah akan mendorong pintu yang tak tertutup rapat itu.

"Nggak apa-apa, Rangga gak lagi bicara dengan tamu penting, palingan Karina yang di dalem ... yuk ... lagian aku juga lagi kangen kamu ...," ucap George bertepatan dengan tangan kanannya yang sudah mendorong pintu ruang kerja Rangga dan akhirnya terpampang sudah pemandangan di balik pintu sedari tadi.

Karina dan Rangga tengah duduk di sofa berdampingan. Rangga yang tengah hendak menyuapkan sesendok nasi kepada Karina. Merasa pintu terbuka, sontak Rangga menoleh ke sana, sedikit terkejut mendapati Shafa dan George di depan pintu.

"Yuk ..." George membungkus pergelangan tangan mungil shafa dengan tangan besarnya dan menuntunnya gadis itu masuk ke dalam ruang kerja Rangga.

"Eh, lo udah makan rupanya. Nih adek lo bawain makan siang buat elo," jelas George.

"Ibu minta Shafa anterin ke Mas,"  Shafa menyambung ucapan George.

"Kok tumben Ibu nyuruh? " tanya Rangga sedikit kesal karena ketahuan tengah berduaan dengan Karina.

"Takut Mas makan telat kayak kemaren siang," jawab Shafa.

"Gak bakalan dia makan telat lagi. Kamu tenang aja. Ada aku kok yang merhatiin Rangga makan. Kemaren dia harus pulang ke rumah, karena aku tak bisa menemaninya makan siang, aku harus menemani ibuku di rumah sakit," kata Karina pada Shafa.

Tak dapat lagi Shafa gambarkan bagaimana hatinya berdarah darah tak kasat mata mendapati kenyataan bahwa Rangga mau pulang makan di rumah karena Karina tidak bisa menemaninya. Shafa melihat sekilas di meja itu ada piring dengan isinya yang hampir habis. Rangga sudah makan siang. Shafa telat mengantarkannya.

"Kalo lo udah makan, buat gue aja. Boleh kan? Pasti enak," George seperti biasa dengan gaya cueknya berucap itu pada Shafa.

Shafa melirik ke arah Rangga yang tampak tenang tenang saja di mata Shafa bahkan setelah tahu jika Shafa mengantarkan bekal pada Rangga, lelaki itu sepertinya masih tak peduli juga.

"Iya ... buat lo aja. Lagian kenapa nggak nelpon dulu kalo mau nganter ...," keluh Rangga. Oh oke, memang bukan sepenuhnya salah Rangga. Ini kan bukan kebiasaan Rangga dibawakan bekal ke kantor.

"Siiip ... gue gak sabar lagi mau nyoba. Aku kangen sama masakan kamu, Fa. Terlebih sama kamu," kata George. Shafa hanya senyum mendengarnya lalu menyodorkan kotak bekal yang sedianya tadi untuk Rangga.

"Eh, kita makan di ruanganku aja yuk ...," ajak George seraya menerima kotak bekal dari tangan Shafa. Belum juga Shafa menjawab, Rangga telah lebih dulu memotong.

"Makan di sini aja. Nggak usah berduaan."

"Eh, kenapa lo protes? Lo takut adek lo gue apa apain? Gue gak bakal berani ngapa ngapain adek lo, Ngga!" George membantah.

"Eh, lo nggak tau tuh bocah anak kesayangan Nyonya? Gue telpon Nyonya ya? Ketahuan lo ngurung dia di ruang lo. Bisa dihajar Nyonya lo!" ancam Rangga. George bergidik ngeri.

"Ya udah kita makan di sini aja, ya." George tak ingin berdebat, karena dia sudah tak sabar ingin mencicipi masakan Shafa.

Mereka sudah duduk berempat sekarang. George dan Shafa berdampingan sementara di hadapan mereka Rangga dan Karina. George membuka kotak bekalnya.

"Hmmm ... baunya harum ... aku udah dua hari ini kangen sama masakan kamu. Aku makan ya ...." George meminta ijin pada Shafa dan diangguki patuh oleh Shafa.

"Enak banget ...," puji George pada Shafa. Gadis itu menyimpan senyumnya karena pujian itu.

Oh, ayolah hatinya yang tengah luka dan kecewa bagaikan diberi angin surga yang menyembuhkan lukanya ketika dipuji, dimanjakan dengan kata kata memabukkan oleh George. Dan Shafa tak dapat untuk berlari lagi dari situasi ini. Suaminyalah yang menyodorkannya pada George. Suaminyalah yang memberi harapan pada George. Membiarkan cinta George tumbuh dan berkembang dengan cepat di hati George.

Lalu Shafa bisa apa? Mungkinkah Shafa harus mengungkapkan semuanya. Jika semua terungkap, bagaimana dengan Muthia yang akan kecewa karena ulah Rangga? Shafa tak dapat membayangkan prahara yang timbul jika semuanya terungkap. Yang harus dilakukan Shafa adalah mengikuti permainan Rangga hingga usai dan tidak boleh melenceng dari rencana awal Rangga.

Ya, Shafa perlu menyiapkan hati jika hari itu tiba. Menyiapkan hati bila Muthia akan membencinya karena telah mendukung rencana gila Rangga. Dan pada hari itu Shafa akan menyalahkan dirinya karena tak mampu membuat Rangga jatuh cinta padanya. Shafa menyerah jika sudah ini masalahnya. Di hati Rangga sudah bersemayam satu nama di sana.

"Kamu nggak makan? Aku suapin ya ...," kata George pada Shafa. Gadis itu menggeleng.

"Kamu udah makan?" tanya George. Shafa mengangguk. Dia melirik ke arah Rangga yang dari tadi menatapnya tajam.

"Mang Asep udah dari tadi nunggu ... mending kamu pulang sekarang deh," Rangga memasang wajah dinginnya kepada Shafa.

"Mang Asep udah pulang, Shafa bilang tadi untuk pulang pake mobil online," jawab Shafa.

"Kalo ketahuan Ibu, kamu pulang pake taksi online, pasti diomelin Ibu," Rangga menakut nakuti Shafa. Gadis itu menggigit bibirnya. Rangga senang mendapati ancamannya berpengaruh pada Shafa.

"Udah kita pulang sekarang. Ibu lagi sakit ngapain juga kamu tinggal-tinggal begitu," omel Rangga. Shafa hanya menunduk diam.

"Udahlah, Ngga. Jangan diomelin gitu. Aku jadi pengen cium dia kalo dia jadi imut gitu," seloroh George.

"Enak aja pake cium-cium anak orang. Emang situ berani ijin nyium anak Nyonya? Yang ada lo dikulitin idup-idup," balas Rangga.

"Ada saatnya gua ijin ke Om Dedy sama Tante Muthia, Ngga, " dengan nada serius George mengucapkannya pada Rangga. Rangga dan Shafa sama sama tertegun mendengarnya. Tak diduga sama sekali pernyataan George secepat ini. Bahkan Rangga belum menceraikan Shafa, sementara George sudah berniat melamar Shafa kepada orang tua Rangga.

"Udah buru. Cepetan aku anter pulang," titah Rangga meleburkan kebekuan Shafa akibat mendengar pertanyaan mengejutkan dari George.

"Aku aja yang anter, Ngga. Tunggu aku selesai makan bentar lagi," tawar George.

"Nggak ... aku anter dia sekarang. Ayo cepet," Rangga sudah berdiri dan menggenggam erat tangan Shafa untuk membawanya keluar dari ruang kerjanya. Karina yang dari tadi diam saja akhirnya ikut bicara.

"Rangga, biar ajalah George yang anter, 'kan nggak apa apa juga George ketemu camer," kata Karina.

"Enggak. Biar aku aja!" Rangga yang sudah ada di depan pintu kembali melangkahkan kakinya sambil menyeret Shafa.

Ranggaaa... Tak bejek lho kamu! Cemburu gak sadar ya!

Jangan lupa bintangnya...
Terima kasih

Istri yang DiabaikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang