66

21.4K 1K 55
                                    

Mereka yang berteduh berjumlah lima orang jika Rangga ikut dihitung bersamaan. Satu orang pemuda di sana mengerlingkan mata serta mengedikkan dagu kepada temannya ke arah Rangga. Yang diperhatikan tengah mengusap-usap ponsel, satu-satunya harta berharga. Derai hujan yang terus mengguyur bumi sekonyong-konyong membawa ingatan Rangga pada hari dia menjemput Shafa yang tengah kehujanan. Mendadak hatinya jadi sedih.

Saat itu seharusnya mereka mengukir kenangan indah. Hari di mana mereka berjanji untuk makan malam dengan suasana romantis. Bahkan Rangga sudah menyiapkan meja khusus penuh kejutan untuk Shafa. Semua jadi buyar setelah Karina menelepon dan mengabarkan bahwa ibu gadis itu telah meninggal dunia. Berita itu didapatkan Rangga berpas-pasan dengan pintu mobil yang dia buka untuk segera meluncur menjemput Shafa makan malam. Hingga akhirnya dia lupa dengan janji itu karena beberapa urusan yang dilakukannya berkaitan dengan meninggalnya ibu Karina.

Terlalu larut dengan kesedihannya, Rangga tidak sadar jika ternyata beberapa pemuda yang ikut berteduh telah berada pada jarak yang sangat dekat, bahkan hanya selang satu langkah dari pria bertato dan berwajah sangar. Dapat dengan mudah ditebak, bahwa pria bertato itu adalah pemimpin mereka.

Merasa diperhatikan, Rangga pun mendongakkan kepalanya. Dari jarak dekat itulah, Rangga melihat jelas seringaian meremehkan sekaligus menyeramkan. Sontak insting melindungi diri membuat dia segera menaruh ponselnya kembali ke saku celana.

Lelaki bertato itu pun mengangkat dagunya lebih tinggi seolah menggertak Rangga, dadanya dibusungkan hendak menantang Rangga. Walaupun tingginya masih di bawah Rangga, pria itu kelihatan tidak ciut sama sekali.

"Berikan handphonemu!" gertak pria bertato itu.

Rangga pun mundur mendengar pria bertato bicara.

Semakin Rangga mundur, pria itu terus mengikis jarak di antara mereka menyebabkan Rangga terpaksa terjebak di dinding rolling door toko yang menjadi tempat mereka berteduh tersebut.

"Kamu akan kami biarkan pergi dari tempat ini jika handphone itu kamu berikan. Dan jangan lapor polisi!" gertak pria itu dengan lagak yang semakin angkuh dan garang.

Merasa terpojok, Rangga pun berusaha keluar dari kerumunan para pemuda yang mengelilinginya. Namun, langkahnya dihalangi oleh pria berambut gimbal di sisi kanannya.

"Nggak usah lari kemana-mana. Memangnya kamu mau ke mana? Lagipula masih hujan!" seru lelaki berambut gimbal itu.

Tiba-tiba saja kedua tangan Rangga dipegangi oleh dua orang, pria berambut gimbal dan pria dengan rambut yang dikuncir. Rangga pun meronta diperlakukan demikian.

"Jangan! Tolonglah kalian pergi. Aku sudah tidak memiliki apa-apa lagi!" Rangga berteriak frustasi disertai nada memohon yang sangat memelas.

Keempat pria berpakaian robek itu pun tertawa terbahak-bahak.

"Badan boleh keker, ternyata cemen!" ledek salah satu di antara mereka.

Pria bertato merogoh paksa ke dalam kantung celana Rangga yang berisikan ponsel. Dengan mudah, dia mengambil ponsel dengan gambar apel tergigit itu disertai senyum puas.

"Mahal ini!" serunya.

Rangga menggeleng frustasi. Tentu saja dia tidak ingin ponsel itu hilang. Kenangannya bersama Shafa ada di sana. Boleh dikatakan jika ponsel itu menjadi pengganti Shafa jika rindu tiba-tiba mendera jiwa. Dia sudah kehilangan Shafa, kali ini dia tidak akan kehilangan kenangannya.

Dengan kekuatan dan tenaga yang tersisa setelah berbenturan dengan George, belum lagi ditambah dengan pukulan hukuman dari ayahnya, Rangga memberontak sembarangan semampu yang dia bisa. Kaki dan tangan bahkan kepala pun ikut bergerak melawan. Menendang, meronta, memukul, menyundul, semua dilakukan Rangga dengan sisa-sisa tenaga. Kali ini dia tidak akan membiarkan satu-satunya penghubung dengan Shafa pergi.

Genggaman itu pun terlepas. Mau tidak mau karena usaha Rangga yang kuat, dua orang pria yang memeganginya pun tidak mampu lagi menahan. Rangga melangkah lebar menuju pria bertato dan merebut ponselnya. Kejadian itu sangat cepat, membuat pria bertato tidak siap, hingga ponsel Rangga pun kembali lagi ke tangannya.

Badannya yang semakin lemah membuat otaknya berpikir bahwa dia harus lari sejauh-jauhnya menghindari gerombolan pria tadi. Namun, sungguh sangat disayangkan. Baru beberapa langkah saja dia berhasil melarikan diri, keempat pemuda itu bergerak lebih cepat. Salah satu di antara preman itu mendorong tubuh Rangga hingga dia pun tersungkur dengan posisi terlungkup. Sementara tangannya mendekap ponsel di depan dada yang terhimpit di tanah berlumpur karena guyuran hujan yang masih menderas.

Tubuh Rangga hendak dibalikkan menjadi telentang oleh pria bertato. Namun, Rangga berusaha menahannya demi melindungi ponsel direbut oleh pria berwajah bengis itu.

Kemudian di bawah guyuran bulir langit yang sama, ketiga orang pria yang tadinya berada di belakang pria bertato ikut merangsek maju mengerumuni Rangga. Mereka berempat pun berusaha membalikkan tubuh Rangga. Karena kalah tenaga dan tentu saja jumlah, Rangga pun berhasil ditelentangkan oleh para preman tersebut. Namun, tangannya masih mendekap ponsel dengan erat. Hingga di malam bernaungkan langit kelam dengan tetesan yang bertambah banyak, Rangga hanya bisa memasrahkan diri saat pukulan, tendangan dia rasakan seolah nyaris menarik napas dan nyawanya. Hanya satu yang dia tahu dan dia ingat. Ponsel itu tidak akan dia berikan pada siapa pun. Bahkan mungkin dia kini tidak sadar, ponsel itu lebih berharga dari nyawanya. Ya, dia tidak sadar akan hal itu.

Kehilangan Shafa telah melenyapkan logikanya, menghilangkan kewarasannya. Dalam hati yang terlalu rapuh, nyatanya akal sehat pria itu telah lumpuh. Karena perintah alam bawah sadarnya kini adalah melindungi ponsel itu sama dengan melindungi pujaan hati. Menjaga ponsel itu sama dengan menjaga Shafa, wanita yang seharusnya berada dalam kenyamanan naungan seorang suami.

Para preman itu berharap Rangga menyerah mempertahankan ponsel itu. Sehingga mereka semakin menambah ritme pukulan menjadi lebih banyak lagi. Pukulan dan tendangan itu terasa meremukkan tubuh Rangga. Akan tetapi, dia sudah tidak peduli. Dia merasa bahwa ini adalah salah satu hukuman dari langit karena telah menyia-nyiakan istrinya. Bahkan dia dengan tega telah membuat ibunya berprasangka bahwa sang istri berselingkuh.

Hingga pukulan berulang di kening membuat kepalanya memberat.

Dalam pekatnya malam, dalam deraian air langit yang bagaikan bah. Dengan masih menggenggam erat ponsel itu, matanya terus memejam sementara hatinya berkata pada semesta. Jika ini adalah takdirnya atas segala hukuman pada kesalahan yang dia perbuat, dia siap menerima ini semua. Asalkan Shafa kembali ke pelukannya.

Akan tetapi, jika salahnya tidak termaafkan dan Shafa tidak pantas kembali padanya, satu yang dia minta pada pemilik langit.

Jangan pernah ambil ingatannya tentang Shafa. Jika tubuhnya hancur dan remuk redam, biarkan kepalanya terjaga agar kenangannya bersama Shafa utuh di dalamnya.

Bersamaan dengan permohonan yang berbisik di hati, perlahan kegelapan merenggut kesadarannya. Namun, ponsel itu tetap tergenggam erat.

Hai up ya akooh
Maaf lama...
Bacanya sambil menghayati lagu Pasha Ungu terbaru ya...
Setelah Kau Pergi.

Kalo ga khilaf sekitar tiga episode lagi ending. Yuhuuuu...

Jangan lupa bintangnya ya...
Terima kasih...

Istri yang DiabaikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang