64

21.1K 1.1K 68
                                    

Deddy menatap Muthia dengan tenang. Wajahnya tampak tidak terkejut dengan perkataan Muthia. Suatu hari dia sangat yakin Muthia akan mengetahui semua kelakuan putra mereka jika Rangga tidak segera menuntaskan masalah rumah tangganya. Bukankah dulu dia sudah pernah mengingatkan hal itu pada Rangga.

Sementara Muthia masih dengan napas memburu menatap suaminya dengan rasa penasaran. Sikap tenang sang suami membuat hatinya tambah gelisah tidak karuan. Entah karena apa. Ada yang sangat mengganjal serta ganjil dengan kejadian tadi. Nalurinya sebagai seorang ibu mengatakan hal tersebut.

Deddy yang tadinya tengah berdiri di antara sofa dan meja ruang keluarga dengan kedua tangannya dimasukkan ke dalam kantong celana, sementara kepalanya menengadah ke atas dan menjinjitkan kakinya sebentar lalu mendaratkan kembali tumitnya di lantai seiring dia menurunkan kepalanya hingga tatapannya jatuh ke lantai.

Muthia menyipitkan matanya. Gestur sang suami itu sangat dia kenali. Suaminya itu mempunyai hal penting yang harus diketahui serta diluruskan. Itu artinya ada yang salah pada Muthia. Akan tetapi, apanya yang salah?

Deddy melangkah mengikis jarak dengan istrinya sembari berkata. "Ibu tau dari mana?"

Langkah Deddy berhenti ketika sudah sangat dekat dengan sang istri. Digandengnya Muthia menuntunnya menuju kursi ruang keluarga. "Duduk dulu sini, cerita sama ayah."

Perasaan Muthia tambah tidak nyaman dengan sikap tenang Deddy. Suaminya itu adalah pria dengan daya analisa tinggi, tidak mudah menyimpulkan sesuatu, hingga dia jarang melakukan kesalahan karena kehati-hatiannya dalam menilai sesuatu atau pun menilai orang lain. Jika bukti dan fakta tidak kuat, maka Deddy tidak akan mudah mempercayai suatu hal. Namun, jika dia sudah meyakini sesuatu, hampir sembilan puluh akurat.

Begitu sampai di dekat sofa, Deddy menekan lembut pundak Muthia ke bawah hingga sang istri duduk di sofa panjang. Sementara lelaki itu memutari meja, mengambil duduk di sofa lain yang berhadapan langsung dengan Muthia.

"Sekarang Ibu ceritakan apa yang terjadi di rumah Rose. Apa yang ibu dengar di sana," titah Deddy.

Baru saja Muthia akan bercerita tiba-tiba saja muncul Rangga berdiri di ambang pintu penghubung ruang tamu dan ruang keluarga.

"Sini!" panggil Deddy dengan nada tegas.

Rangga berjalan menunduk sembari menutupi mukanya yang mulai membengkak dipukul George. Melihat hal itu, Deddy bertambah penasaran ada apa yang terjadi di rumah George.

"Udah, kamu nggak usah nutupin mukamu gitu. Soalnya di kening kamu juga ada bekas pukulan. Ayah tetap akan tahu apa saja kelakuan kamu, Rangga. Jangan lupa siapa ayahmu ini," interupsi  ayah Rangga.

Rangga pun duduk di sofa panjang bersebelahan dengan Muthia. Sementara pandangan mata Deddy kembali beralih kepada Muthia.

"Ibu udah boleh menjelaskan apa yang ibu tahu dan ibu dengar di rumah George!" titah sang kepala keluarga.

"Waktu jamuan makan di rumah Rose, ada Shafa di sana. Ya, ibu kaget dong. Kan Rangga bilang Shafa lagi pulang ke panti. Jadi nggak bisa ikut. Kok, tiba-tiba aja ada di rumah Rose. Ibu udah nggak enak aja 'kan perasaan? Terus ibu tanya kok Shafa ada di sini? Sama si Rose ngenalin itu calon mantunya. Apa nggak bikin ibu syok? Pas nanya Rangga, dia bilang bener. Ya udah ibu tampar Shafanya. Beneran deh, Yah! Kita udah ketipu sa---"

"Cukup!" titah ayah Rangga membuat Muthia terkesiap. Dia semakin penasaran.

"Rangga! Berdiri kamu! Hadapi ayah sebagai laki-laki! Ayah tidak suka cara-cara pengecut seperti ini!"

Rangga pun beranjak dari sana. "Berdiri di sana!" titah Deddy sementara jari telunjuknya terarah di ruangan yang agak luas tanpa banyak perabotan.

Rangga melangkah menuju tempat yang ditunjuk oleh sang ayah. Deddy menyusulnya kemudian. Ketika sudah berdekatan dengan putranya itu, Deddy memukul wajah Rangga dengan satu bogem mentah. Membuat Rangga terpental mundur.

"Ayah!" pekik Muthia.

"Ibu tunggu saja di sana! Tunggu sampai ayah selesai dan tolong seperti biasanya percayakan pada ayah!"

Rangga memegangi pipinya yang bertambah bengkak berusaha berdiri tegak setelah terpental setengah condong ke belakang.

"Kamu tadi ngelawan waktu dipukul George?" tanya Deddy.

Rangga mengangguk.

"Harusnya kamu jangan ngelawan. Sekarang ayah akan memberi kamu pelajaran seperti seorang lelaki jantan. Berani melawan ayah?"

Rangga menggeleng.

"Oke! Siap-siap!"

Selang beberapa detik kemudian, Deddy menghajar dan memukul Rangga. Di wajah, perut bahkan kaki dan punggung. Tidak sekalipun Rangga melawan bukan karena dia tidak bisa. Apalagi untuk sekedar lari dari sana.

Namun, dia ingin menghabisi rasa bersalahnya pada Shafa. Jika dengan segala perlakuan yang dia terima ini, Shafa akan kembali, dia siap. Akan tetapi, semua itu tidak akan mungkin terjadi. Shafa pasti sudah terlanjur membencinya. Bolehkah dia mendapatkan kesempatan kedua? Jika itu terjadi, dia akan membahagiakan Shafa sepenuhnya. Menjadikan ratu di hati pria itu seutuhnya.

Benarlah yang dikatakan oleh orang-orang, bahwa penyesalan akan datang belakangan. Walaupun di dunia ini tetap ada yang namanya kesempatan kedua.

Rangga merasakan tubuhnya remuk redam dipukuli ayahnya sendiri. Dia sangat paham bagaimana perasaan ayahnya itu. Reaksi yang sama akan dia dapatkan dari ayah kandung Shafa jika beliau masih hidup.

"Katakan pada ayah! Bagaimana bisa kamu malah melempar tuduhan keji itu pada Shafa? Hah? Dia itu anak kami juga! Ayah sebagai orang tuanya tidak terima jika dia diperlakukan demikian!"

"A--a--aku ... marah, Yah. Marah karena Shafa sudah akan bersanding dengan George ...."

"Bukannya itu kemauanmu dulu?"

"Itu dulu, Yah! A--a--aku ... sekarang mencintai Shafa, Yah!"

Deddy mendengkus. "Asal kamu tahu, Shafa dan George belum bertunangan. Menurut ayah, Rose yang sudah salah paham pada cerita-cerita George. Itu semua karena kamu yang tidak pernah bilang bahwa Shafa adalah istrimu! Jadi, Rose cukup percaya diri Shafa akan menerima George."

"Maksud Ayah?"

"Jadi laki-laki itu pakai logika, Rangga! Tidak mungkin Shafa dengan mudah menerima George yang tidak dia cintai! Yang dia cintai itu, kamu! Kamu malah seenaknya nuduh dia!"

Rangga tertegun. Rasa bersalah menghujam jantungnya bertubi-tubi. Membuat perasaannya semakin tersiksa hingga rasanya dia ingin masuk ke dalam lumpur nista hanya demi menghabisi rasa bersalahnya pada Shafa.

Rangga jatuh berlutut di hadapan ayahnya.

"Sekarang jelaskan semuanya pada ibumu! Ayah terlalu malas menjelaskannya! Sudah ayah katakan, selesaikan semuanya sebelum ibumu tahu!"

Rangga bangkit dari marmer dingin malam itu. Melangkah terseok-seok mendekati ibunya yang sudah berlinang air mata. Rasa bersalah juga menghantam jiwanya. Dengan tangannya sendiri dia telah memukul Shafa.

"Bu ... Rangga yang salah ...." Lelaki itu bersimpuh di lutut ibunya.

Rangga pun menceritakan semua yang terjadi pada rumah tangganya bersama Shafa. Bagaimana dia sendiri yang kemudian menyodor-nyodorkan Shafa pada George, merencanakan perpisahan bahkan bersandiwara mesra pun adalah bagian dari skenarionya. Semua diceritakan Rangga dengan terperinci diiringi tatapan syok dan uraian air mata Muthia.

"Kenapa kamu lakukan itu? Kamu bener-bener tega sama Shafa! Ya ampun, ibu percaya aja sama omongan kamu. Jika sudah begini, biarkan Shafa dengan George! Biarkan dia bahagia! Lagipula George tampan, baik, cocok untuk Shafa. Kamu yang nggak pantas untuk dia!" pekik amarah tertahan Muthia setelah berhasil mengendalikan tangisnya.

Rangga menunduk lesu. Kini tidak ada lagi yang akan mendukungnya. Saat akan memulai bercerita, Rangga berharap ibunya akan tetap mendukungnya, memaafkannya. Namun, tampaknya hal itu bisa jadi hanyalah mimpi. Padahal dia sangat membutuhkan kesempatan kedua.

"Kamu keluar dari rumah ini, Rangga! Ayah perlu menghukummu!"

Waduh, Rangga diusir nih. Ibunya nggak dukung lagi.

Adoooooh jadi sama siapa ini Shafa? Ckckck

Istri yang DiabaikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang