(19)

16.7K 944 8
                                    

"Maksudku penilaianmu terhadap laki laki seperti George," lanjut Rangga.

Shafa menatap sendu pada Rangga. Rasanya sulit dipercaya pertanyaan Rangga. Shafa tahu makna pertanyaan itu. Dirinya hendak dijodohkan dengan George. Sepertinya tidak ada niat lain bagi Rangga saat meminta penilaian atas George.

"Aku tidak tahu." Shafa menunduk.

"George lelaki yang baik. Dan dia belum memiliki pasangan. Dia tidak mudah jatuh cinta pada wanita. Tipe setia." Rangga memilih menjeda kalimatnya demi melihat reaksi Shafa.

Shafa masih menunduk. Satu per satu kata kata Rangga didengarnya dengan perasaan kecewa. Rangga ingin menyodorkannya pada George. Seolah baginya Shafa adalah barang, yang seenaknya diberikan pada yang lain jika dirinya tidak disukai. Shafa merasa harga dirinya dijatuhkan oleh suaminya sendiri. Seorang suami yang harusnya menjaganya dari lelaki lain, malah sekarang dengan senang hati memberinya kesempatan untuk bersama lelaki lain. Menyetujuinya untuk berselingkuh.

"Kenapa Mas Rangga bicara seperti itu tentang George?" Tanya Shafa terus terang. Oh, ayolah dirinya tak mau lagi bicara berbelit belit namun ujungnya tetap membuatnya sakit.

"Aku ingin mencoba jadi jembatan untuk kalian," imbuh Rangga.

"Jembatan?" Shafa menyipitkan matanya menaruh kesinisan di dalam iris matanya.

"Eheeem ... begini jadi ... aku tidak akan melarangmu berhubungan dengan siapapun, maksudku dengan laki laki tentu saja. Silakan jika memang kau punya kekasih. Begitu pula aku. Kita tidak saling mencampuri urusan masing masing, apalagi urusan hati. Kita bebas memiliki kekasih. Karena toh kita juga akan berpisah. Jangan buang waktu kita hanya untuk pernikahan konyol ini. Namun, menurutku George lelaki yang tepat untuk menjadi kekasihmu." Rangga menghentikan kalimat panjangnya, lelaki itu ingin melihat reaksi istrinya.

Dari tadi Shafa hanya menunduk. Rambut panjangnya telah menutupi raut kecewanya. Shafa menarik nafas pelan, menguatkan diri, lalu memasang wajah tenang sebelum menatap Rangga.

"Aku rasa aku sudah cukup mengerti yang mas maksud. Ada lagi yang ingin mas katakan? Jika tidak kita sudahi saja percakapan ini," tukas Shafa.

"Satu lagi, maukah kau mengisi posisi asisten koki di kantin karyawan di kantor kamj? " Tanya Rangga.

Shafa tampak ragu menjawab. Gadis itu menatap Rangga lekat. Shafa tak yakin denngan yang didengarnya.

"Bolehkah?" Tanya Shafa. Rangga mengangguk.

"Kapan bisa mulai?" tanya Shafa, paling tidak jika ada kegiatan, dirinya tak akan kebosanan, apalagi sudah dibebastugaskan sebagai istri oleh suaminya sendiri.

"Besok atau lusa ...." Jawab Rangga.

"Aku terima," jawab Shafa.

"Kapan kau akan mulai? Besok atau lusa?" tanya Rangga.

"Besok saja." Shafa tidak ingin ada di apartemen besok pagi. Jika tidak banyak aktifitas tentu saja ucapan Rangga padanya akan terngiang ngiang sepanjang hari. Daripada uring uringan mengingat pembicaran malam ini, lebih baik shafa melupakan nya dengan cara menyibukkan diri.

"Baiklah ... kalo gitu aku mau bereskan masakan ini, mau kutaruh di kulkas," imbuh Shafa yang diangguki oleh Rangga. Sesaat kemudian Rangga menulis alamat kantornya pada Shafa pada secarik kertas.

"Ini alamat kantor, besok pagi jam tujuh kamu sudah bisa berangkat ke sana. Bilang saja Pak George yang menyuruhmu ke sana. Dan satu lagi, tidak ada yang tau kalo aku sudah menikah, jadi kuminta kau merahasikannya," imbuh Rangga.

Shafa hanya mengangguk lesu mendengarnya.

                                 ***

Matahari sudah mulai beranjak dari peraduan. Sinar keperakan sudah memasuki celah celah gorden kamarnya. Rangga terkesiap. Nampaknya dia kesiangan. Malam tadi Rangga pulang sudah agak malam ditambah obrolannya dengan Shafa malam tadi cukup membuat keduanya tidur lebih larut. Dan sekarang dia kesiangan.

Dengan langkah tergesa, Rangga memasuki kamar mandi dan tidak berlama lama di dalamnya, Rangga keluar dan mengeringkan rambutnya dengan handuk, sejurus kemudian matanya menatap ranjangnya. Rangga merasa pagi ini ada yang kurang. Tapi, dia langsung menepis perasaan itu dan akhirnya menuju walk in closet miliknya, memilih pakaiannya sendiri. Sedetik berikutnya, Rangga baru sadar pagi ini dia tak mendapati jas, celana dan dasi pilihan Shafa yang biasanya ditaruhnya di ranjang Rangga. Walau tak pernah sekalipun padanan baju pilihan Shafa dipakainya.

Biasanya tiap pagi diam diam Shafa menyiapkan pakaian kerjanya dan kegiatan Shafa itu telah menjadi alarm untuk Rangga. Rangga akan terbangun jika Shafa masuk ke kamarnya pagi pagi. Belum pernah dia kesiangan seperti pagi ini. Pantas dia merasa ada yang hilang pagi ini.

Selesai bersiap, Rangga keluar kamar. Dan berhenti sejenak di depan pintu kamar Shafa. Apa dia belum bangun ya? Tanya Rangga pada dirinya.

Rangga menuruni tangga, lalu ditemuinya juga keheningan di pantry dan meja makan. Tidak ada siapapun. Biasanya Shafa tengah berkutat di depan kompor. Lalu akan terdengar tanyanya menawari Rangga makan. Di meja makan biasanya sudah tersedia masakan sederhana sebagai hidangan sarapan yang disiapkan Shafa untuk Rangga. Lelaki itu tertegun. Ada yang hilang lagi pagi ini rasanya.

Sesaat kemudian, Rangga baru ingat pagi ini Shafa sudah mulai bekerja di kantin kantornya. Rangga yakin, Shafa pergi pagi sekali maka memasak dan menyiapkan baju Rangga terlewatkan hari ini. Tapi, apa peduli Rangga? Bukankah sarapan tidak dimakannya. Dan lagi, dia tak pernah memakai pakaian yang disiapkan Shafa.

        
                                 ***

"Gimana hari pertama kerja? "  Tanya George pada Shafa saat keduanya sudah duduk santai di sebuah meja khusus eksekutif di kantin kantor. Terpisah dari para karyawan lain.

Sebetulnya Shafa tidak enak ditemui George di ruangan ini. Apalagi dirinya baru hari pertama kerja. Di ruangan itu pun, banyak yang melirik Shafa, penasaran akan sosok Shafa yang bisa duduk bersama wakil CEO mereka. Gosip yang beredar selama ini Wakil CEO mereka itu adalah lelaki yang tidak berminat menjalin hubungan dengan wanita.

Direktur dari berbagai divisi yang juga menikmati fasilitas makan siang di ruang itu menatap Shafa dengan tatapan tak terbaca. Shafa sungguh risih dengan itu. Lain halnya dengan George, lelaki itu menikmati kebersamaannya dengan Shafa.

"Hmmm... Alhamdulillah lancar...kokinya juga baik, mau ngajarin," imbuh Shafa.

"Kamu tuh...nggak usah diajarin, masak apa aja pasti enak! " Puji George.

Shafa tersipu malu dibuatnya. Terlalu bahaya lelaki gombal macam dia untuk didekati, pikir Shafa.

"Mas Rangga gak ikut makan siang? " Shafa sebetulnya sudah tak terlalu peduli dengan Rangga setelah pembicaraan mereka malam tadi. Bukankah Rangga sendiri yang menginginkan mereka tak lagi ikut campur urusan masing masing dan tak lagi saling mengurusi atau peduli seperti layaknya pasangan suami istri. Hanya saja, gombalan George membuat Shafa jadi malu, jadi menanyakan Rangga hanyalah untuk mengalihkan rayuan George.

"Rangga emang jarang makan siang di sini. Tadi bareng Karina makan di luar. Biasanya sih aku ikut juga. Kita bertiga jarang makan di sini. Tapi, hari ini aku pengen nyoba masakan kamu," tukas George.

"Ooh... " Shafa hanya ber o saja mendengar nama Karina. Ada semacam perasaan tak nyaman bersarang di hatinya saat ini mendapati berita bahwa suaminya itu makan bersama kekasihnya.

"Shafa, ada apa? Kenapa wajahmu pucat? Kamu sakit? "

Istri yang DiabaikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang