Pagi hangat menyapa. Matahari mulai merangkak naik. Sejak malam masih menyisakan kelamnya sedikit, Shafa sudah bangun dengan hati yang menghangat. Sebab, akhir-akhir ini hubungannya dengan Rangga semakin dekat, dan itu berdampak pada suasana hatinya. Bolehkah dia berharap keajaiban bahwa Tuhan telah akan mengarahkan hati Rangga padanya? Tidak salah kan dengan harapan itu?
Malam tadi mereka bahkan tidur bersama. Shafa tersenyum sendiri dengan kata yang spontan saja keluar dari kepalanya itu. Ya, tidur bersama. Rangga dan Shafa bersama tidur di sofa.
"Senyum-senyum aja?" sapa Rangga yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya.
Sontak Shafa menoleh, " Eh, Mas? Pagi ini cepet banget bangunnya." Shafa lantas mengalihkan pandangannya pada kompor kembali sambil berucap, "Aku belum selesai ini. Tapi nggak lama lagi udah siap, kok. Tunggu ya ...," Shafa menoleh dan senyum kembali pada Rangga.
Rangga menaikkan kedua sudut bibirnya tapi menyembunyikan giginya, sembari mengangguk dengan tatapan lembutnya.
Shafa terpana. Tatapan yang belum pernah dilayangkan Rangga padanya. Sedetik berikutnya Shafa kembali menatap kompor dan wajan berisi nasi goreng seafood yang hampir matang dengan dada yang bagai dentuman musik konser di dalamnya.
Mematikan kompor, menaruh nasi gorengnya pada dua piring, Shafa menyusul Rangga yang sudah duduk di kursi makan sembari melihat ponselnya dengan serius.
Shafa mendorong piring milik Rangga ke hadapan lelaki itu bersamaan dengan dia menatap Shafa kembali dengan senyum kecil. Memang tidak selebar senyuman pertamanya. Namun, apakah Shafa saja yang terlalu merasa jika Rangga lebih banyak tersenyum padanya akhir-akhir ini.
"Yuk ... makan ...," ajak Shafa.
Rangga mengangguk. Lalu keduanya larut dalam kebungkaman dengan suara piring dan sendok beradu yang mendominasi suasana syahdu pagi ini.
Rangga mengelap mulutnya dan menghabiskan air putih yang ada di gelasnya lalu berkata, " Hari ini aku akan pulang malam, masih menemani Karina. Ada keluarga ayah tirinya dan ibu tirinya di rumah itu. Jadi, kemungkinan dia nggak nyaman di sana, aku mau temani dia ya?"
Shafa mengangguk dengan menundukkan wajah kecewanya.
"Hmmm, aku tetep makan di rumah, apa aja," kata Rangga kemudian.
"Berarti pulangnya jam tujuhan aja ya? Supaya makannya enggak telat. Gimana? Kalo emang pulangnya lebih malem dari itu, Mas makan di luar aja," saran Shafa berusaha menekan rasa perih di hati.
"Enggak, jam berapa pun aku pulang. Aku akan tetep makan di rumah. Tapi, aku akan usahakan pulang jam tujuh, " putus Rangga akhirnya.
Shafa mengangguk kaku dengan senyum tipis. Di satu sisi dia merasa bahagia karena Rangga mau pulang ke rumah demi memenuhi janji dengan dirinya. Sebuah kemajuan berarti, tapi di sisi lain dia masih belum sepenuhnya yakin jika itu semua karena Rangga mencintainya. Masih terlalu dini menyimpulkan hal tersebut.
Rangga bangkit dari tempat duduknya memutari meja makan, berakhir dengan sebuah kecupan lama nan lembut di dahi Shafa. Mengurai ciumannya, Rangga berkata, "Aku pergi dulu, ngak usah anter aku ke pintu,"
Shafa terpana. Terdiam beberapa saat dengan tatapan yang berada dalam satu garis lurus dengan Rangga. Sangat dekat. Hingga menciptakan debar-debar menyenangkan di dada serta membuatnya serasa terbang.
Senyum teduh pun terulas dari wajah sendu itu setelah tersadar dari keterpanaannya atas perlakuan Rangga tadi. Tidak lupa, Shafa mengambil punggung telapak Rangga dan menciumnya. Keduanya sadar ini bukanlah sandiwara.
***
Baru saja Shafa selesai menyiapkan makan malamnya, menunggu antara harap dan tidak. Pasalnya, Shafa tidak yakin jika Rangga serius dengan ucapannya. Arlojinya pun menunjukkan telah lewat satu jam dari pukul tujuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri yang Diabaikan
ChickLitShafa gadis panti asuhan yang dijodohkan dengan Rangga seorang putra dari keluarga berada. Rangga yang sudah memiliki pujaan hati sebenarnya ingin menolak. Namun dia yang sangat menghormati ibunya tidak mampu menolak perjodohan itu. Hingga terjadi...