47

16.2K 986 20
                                    

"Mbak ... tolong bukain pintu ya. Kayaknya ada orang deh ...," kata Shafa pada Santi asisten rumah tangga mertuanya.

Tergopoh gopoh Santi menyambut tamu mereka siang itu.

"Ooh ... Mister George. Masuk mister," dengan sopan Santi mempersilakan George masuk ke ruang tamu rumah mereka. Dari awal jumpa George, Santi memang memanggilnya dengan mister, karena wajah bulenya yang kental.

"Makasih, San," jawab George.

"Mister mau minum apa?" Tanya Santi.

"Apa aja, San," jawab George.

"Baik, mister. Saya buatkan teh aja, ya," tawar Santi.

"Oke," jawab George.

Tidak lama kemudian Santi telah mengangsurkan secangkir teh pada George.

"Ibu ada Santi?" tanya lelaki tampan itu pada Santi yang sudah lama dikenalnya di sana sebagai asisten rumah tangga keluarga Dedy.

"Oh, ibu tadi keluar, ke salon apa ke mall gitu ...," jawab Santi yang masih dalam posisi bersimpuh di tepi meja sehabis menaruh gelas teh. Sejurus kemudian Santi berdiri.

"San, non Shafa lagi ngapain sih? Suruh keluar cepet ke sini. Gue ada perlu nih sama dia," pinta George.

"Non Shafa lagi masak, Paling bentar lagi baru kelar, mungkin mister tunggu aja ya. Nggak lama kok," jawab Sari.

"Wah, jangankan sebentar San. Lama pun akan gue tunggu," dan terbitlah senyum kecil dari wajah George. Santi yang mulai mengerti arah pembicaraan dan arti senyum itu mengernyitkan dahi. Sebab kata-kata George mengundang tanya pada diri Santi.

"Maksudnya mister teh, kutunggu jandamu?" tanya Santi dengan logat khas daerahnya sembari tersenyum kecil dan menggeleng geleng pelan. Sejurus kemudian Santi meninggalkan George yang mematung mendengar kata kata itu. Bingung.

"Nih, berkasnya," Shafa mengangsurkan sebuah map yang dimaksud George tadi di telepon. George memeriksa map itu. Mengangguk sekilas kemudian.

"Kamu udah selesai masaknya, darl?" Shafa mengangguk.

"Aku udah laper nih," George sudah tak malu malu lagi nampaknya pada Shafa.

"Ya udah yuk, ke ruang makan," ajak Shafa pada akhirnya.

Keduanya larut pada obrolan mengenai menu makan mereka siang itu. Santi yang berada di sana juga sempat menangkap keganjilan pada sikap George. Seperti menaruh perhatian pada nona muda mereka.

"Lu kan harusnya sudah mengantar berkas itu, George!" Sebuah suara bernada sinis merambat ke gendang telinga George dan Shafa.

Keduanya sontak menoleh ke arah datangnya suara. Rangga. Laki laki itu menatap tajam ke arah pasangan yang ada di depannya itu. Ada sorot tak senang melihat keakraban keduanya di sana. Di saat tidak ada siapapun di rumah itu, berani beraninya Shafa memasukkan lelaki asing ke dalam rumah orang tuanya. Memang di sana ada Santi, Mang Asep, dan Rina yang bertugas mencuci dan menggosok baju. Shafa tak sendiri di sana, namun apa pantas dia yang hnya menantu membiarkan George masuk. Rangga sempat tertegun, betulkah karena itu hatinya terasa panas. Dia kembali bertanya pada dirinya, tidak suka karena Shafa lancang membiarkan George ikut makan, atau dia terbakar suatu perasaan karena ada yang mulai tumbuh di hatinya. Rangga menolak untuk mengakuinya. Tidak mungkin.

"Oh, hai bos. Ini kan masih jam istirahat. Masih mau kangen kangenan nih sama adek lo," George dengan santainya menyapa Rangga. Suami Shafa itu sangat mengenali George. Jika sudah memiliki keinginan dia tak akan menyerah dan memilih memasang muka tebal demi keinginannya. Jadi, walau Rangga tak suka dia ada di sana, dia tak akan menanggapinya. Menyadari tabiat George itu, Rangga hanya bisa memasang muka masamnya pada Shafa. Dan duduk di meja makan bersama mereka.

"Gimana orang tua Karina?" tanya George.

Dasar bule tak tahu diri, harusnya dia tak menanyakan itu di depan Shafa. Rangga mengumpat dalam hati.

"Udah nggak ada yang terlalu dikuatirkan lagi," jawab Rangga enggan.

"Aku mau sopnya." Dengan nada dingin Rangga meminta pada Shafa.

"Oh iya, maaf aku nggak konsen, " jawab Shafa yang tidak berbohong. Melihat Rangga pulang, padahal kabarnya lelaki itu menemani Karina, ditambah wajah suram dan kalimat pedasnya pada George, Shafa yakin akan ada insiden lagi setelah ini. Shafa hanya tak mengerti dengan sikap aneh Rangga. Apa dia ada masalah dengan Karina sehingga pulang lebih awal dan menumpahkan kekesalannya pada siapa saja yang ada di dekatnya, termasuk George dan dirinya sendiri. Ah, bagi Shafa memahami hati Rangga lebih susah dari belajar matematika.

Mereka bertiga makan dalam keheningan. George bisa merasakan aura negatif yang menguar dari sekitar Rangga. Namun, George memilih tak peduli dengan itu.

Rangga menyeret Shafa menuju kamar setelah George pulang dari rumah orang tua Rangga. Gadis itu terseok seok mengikuti langkah lebar Rangga.

"Sa--kit Mas, " keluh Shafa karena merasakan panas di area pergelangan tangannya.

"Diam!" bentak Rangga.

Ya Tuhan, apalagikah ini? Shafa membatin.

Hubungan Rangga dan Shafa selama ini memang tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Namun, Rangga belum pernah sekasar ini padanya. Rangga memang tak peduli padanya, tapi tak pernah semarah ini padanya. Mengingat itu, Shafa sungguh bersedih.

Rangga membanting pintu kamarnya dengan kuat. Membuat Shafa jadi takut.

"Kenapa kamu nggak nungguin aku pulang, untuk makan bersamaku? Malah ngajakin George makan? Apa karena ada George maka kamu lupa bahwa aku akan pulang makan siang?" tanya Rangga dengan suara besarnya.

"Dia...dia...tadi am...bil..map...terus...,"

"Aku nggak nanya dia ngapain ke sini, yang aku tanya kenapa kamu ajak makan dia tadi?"

"Ta...di George bi...lang Mas ke ru...mah...sakit...jadi Shafa pi..kir...mas nggak...pu...lang...," cicit Shafa. Melihat Rangga yang tengah emosi, Shafa menjawab terbata bata.

"Jadi kamu lebih percaya dia daripada aku?" Rangga meraup mukanya kasar.

"Bukan gitu ... menemani Karina pasti jauh lebih penting daripada sekedar memenuhi janji makan siang di rumah. Jadi, Shafa kira Mas nggak pulang. Kebetulan George datang, dan Shafa juga sudah lapar.

"Atas dasar apa kamu berpikir aku tidak pulang?" Tanya Rangga sinis. Shafa menyipitkan matanya menatap Rangga.

"Atas dasar apa?! Mas lupa? Hubungan kita ini tidak sehat? Mas akan menikahi Karina setelah menceraikan Shafa. Mas nanya sekarang atas dasar apa Shafa tak menunggu Mas pulang?  Mbak Karina adalah wanita yang Mas cintai, ibunya sedang masuk rumah sakit, siapa yang akan mikir Mas bakalan pulang? Mas pasti akan menemani Mbak Karina di sana. Bukankah Mas lebih peduli pada Mbak Karina?" Shafa tak mau kalah, berusaha membela dirinya.

"Iya! Iya! Aku memang peduli dan mencintai Karina. Tapi, bukan berarti aku harus terus bersamanya. Kamu harusnya menunggu aku pulang dan makan bersamaku, bukannya makan berdua dengan George. Atau kamu memang cari kesempatan berduaan dengan George? Mumpung aku dan ibu nggak ada di rumah? Apa sebenarnya yang kamu rencanakan? Sejauh mana hubungan kalian?" Entah mengapa ada semacam gelegak emosi dari dalam dada Rangga membuatnya bertanya bertubi tubi penuh emosi.

Hai ... Aku up nih, buat nemenin kalian yang lagi puasa sahur. Soalnya kulihat banyak yang baca pas jam menjelang sahur.

Btw, panas nih keadaan booo...
Gimana? Gimana? Gimana?
Kita tunggu next part ya...
Jangan lupa bintangnya ya...
Terima kasih

Istri yang DiabaikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang