51

17.9K 948 21
                                    

Sebuah ciuman lembut mendarat di dahi Shafa setelah gadis itu mencium punggung tangan Rangga. Matanya mengerjap, mulutnya membuka dan menutup cepat. Lagi-lagi jantungnya yang tadi belum mereda dari degup kerasnya karena kecupan di pipi, malah bertambah berdetak makin keras di dalam sana. Shafa merasa pipinya memanas. Mungkin saja, sekarang wajahnya sudah merona merah.

Rangga menyimpan senyumnya melihat reaksi Shafa. Dia tidak tahu apa namanya perasaan yang muncul di hatinya baru saja. Namun, satu kata mungkin cukup mewakili perasaannya kala melihat wajah Shafa yang malu-malu. Senang.

"Siang nanti, masak yang enak jangan lupa. Aku akan pulang untuk makan siang," Shafa mengangguk kaku. Tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Jika dia bersuara, maka kemungkinan besar Rangga akan mendengar getar dari tiap lantun ucap Shafa. Daripada dia ketahuan tengah gemetar, akan lebih baik dirinya mengangguk saja. Membuat senyum Rangga kembali mengembang. Wajah tampannya membuat Shafa semakin terpukau dan kian membisukan Shafa. Gadis itu jadi irit bicara.

"Aku berangkat ...," Rangga berucap sambil berlalu dari sana.

Shafa menutup pintu cepat. Bersandar di sana dengan tangan menggenggam dan ditaruhnya di dada. Merasakan detak itu semakin bergerak liar dengan kecepatan yang tidak biasa.

Mungkinkah Rangga mulai mencintainya? Segala sikap dan tingkah lakunya akhir-akhir ini jelas menyiratkan itu. Lantas bagaimana dengan Karina? Sekian tahun dia menyimpan cintanya dalam diam, lalu apakah hanya dengan hitungan bulan cintanya bisa beralih. Secepat itukah? Shafa tidak percaya diri sama sekali jika nyatanya dia mendapat perlakuan sebagaimana layaknya seorang istri akhir akhir ini.

Jika sebelum ini sikap Rangga atas dasar sandiwara, lalu mengapa kini akting Rangga berlanjut. Bolehkah Shafa menduga jika semua sikap Rangga memang bukan sandiwara, namun mengatasnamakan sandiwara__agar harga dirinya tidak terhempas__sebagai alasan untuk menjalin kemesraan dengan Shafa yang padahal sikapnya memang datang dari hati.

Mungkinkah seperti itu? Semuanya masih abu-abu. Ada baiknya saat ini tidak mengambil kesimpulan seperti itu. Untuk menyiapkan hati bahwa bisa saja Rangga hanya ingin bermain-main dengannya. Selama belum ada ungkapan cinta dari Rangga, jangan mudah terlena. Walaupun sebetulnya Shafa suka. Tuh kan? Bikin bingung jadinya?

***

Shafa tengah memoles bibirnya dengan lip tin warna merah muda ketika nada ponselnya berbunyi riuh menari di atas meja riasnya.

"Hallo."

"Ya, Mas."

"Udah siap?"

"Udah."

"Gaunnya pas?"

"Pas."

"Dandannya yang kayak biasa kamu aja, nggak usah tebel tebel."

"Iya enggak...ini tipis kok."

"Kita ketemu di sana ya. Ntar kalo udah nyampe, tanya meja mana yang mas pesen. Ntar kamu tungguin di sana ya?"

"Iya."

"Fa."

"Iya."

"Maaf ya aku nggak bisa jemput kamu. Jam delapan baru selesai rapatnya, Fa. Nggak apa apa, kan?"

"Enggak ... ngak apa apa."

"Ya udah, kamu yang hati-hati. Tunggu aku ya."

"Iya."

Shafa mengambil tas slempangnya, memutar badannya ke kanan dan ke kiri sebentar di depan cermin untuk memastikan kerapian gaun yang dikirimkan Rangga tadi sore lewat kurir.

Istri yang DiabaikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang