52

17.2K 984 24
                                    


Rangga mengendarai kencang mobilnya membelah jalanan yang mulai melengang sebab malam yang kian larut. Beruntung mobil yang dibawanya adalah mobil sport, jadi daya pacunya tidak diragukan lagi.

Sesaat yang lalu seseorang meneleponnya dengan awal kode area sebuah kawasan pusat pertokoan dan kuliner. Nomor yang tidak terdaftar dalam kontak teleponnya itu membuatnya memutuskan untuk menerima panggilan itu.

Awalnya Rangga tidak mendengar siapa pun di ujung telepon sana. Baru saja Rangga akan menutup telepon itu, terdengar suara riuh beberapa orang yang sedang bercanda.

"Udah cepetan beresin ini. Jangan bengong. Hendraaa ... itu meja 9 masih ada mangkok mangkoknya, jangan ada yang ketinggalan, Hen."

Kata meja sembilan dan suara riuh seperti meja dan kursi diseret sedikit membuat Rangga terkesiap. Suara itu datang dari sebuah restoran yang sudah akan tutup sepertinya. Dengan sigap Rangga mengambil kunci mobilnya melaju dengan kecepatan tinggi menuju sebuah tempat. Dia teringat sesuatu.

Keterkejutan nya akan berita tentang Ibu Karina yang telah meninggal membuatnya melupakan janjinya pada Shafa. Bahkan sekedar mengabari saja dia tidak ingat. Apalagi ponselnya kehabisan daya. Membantu Karina membereskan prosedur administrasi rumah sakit membuatnya sibuk hingga tidak menghiraukan lagi daya ponselnya menipis dan tidak lama kemudian pun habis.

Rangga memarkirkan mobilnya di tengah hujan yang menderas.
Mengapa hatinya jadi pedih begini. Pemandangan di antara wipper mobil yang menghalau hujan di kaca depan mobilnya itu membuat hatinya berdenyut nyeri. Di tengah hujan, di bawah pohon akasia itu, sosok gadis yang amat dikenalinya duduk dengan tangan menutup muka, sedang pundaknya tampak naik dan turun berikutnya.

Bergegas dia menghampiri gadis itu. Tiap langkah yang mengikis jarak membuat ribuan rasa bersalah merongrong hatinya dengan perlahan namun pasti. Gadis itu istrinya. Terduduk merana di sana. Satu inginnya kini. Menariknya untuk didekap dengan kehangatan.

Rangga memayungi Shafa, gadis itu menengadahkan kepalanya. Seketika tatap mata mereka beradu. Sepasang mata penuh luka itu tengah memandang Rangga tanpa kedip. Rangga tak sanggup melihat rautnya.

Matanya memerah, sedu sedan tangisnya masih belum terhenti, dan dia sudah mulai menggigil, dapat dipastikan tadi dia menangis dalam hujan. Raungan dan lelehan air matanya yang pasti takkan berbekas sebab terhapus oleh rinai hujan. Hatinya sungguh pedih melihat Shafa.

Rangga melepas payungnya agar dia ikut merasakan dinginnya guyuran ribuan tetes air langit bersama wanita yang akhir-akhir ini mulai mengisi jiwanya. Walaupun logika seringkali menyangkal, nyatanya hati yang berbicara kini tidak mampu lagi membohongi diri sendiri.

Tangan Rangga terulur menggenggam kedua lengan Shafa yang masih terduduk di kursi panjang taman restoran. Digiringnya tubuh lemah nan ringkih itu untuk masuk dalam dekapannya.

Di antara derai bulir air langit itu keduanya saling melepas perasaan yang menyimpan sesak sedari tadi. Rangga ikut kuyup bersama Shafa. Telapaknya mengusap punggung Shafa mencoba menyalurkan ketenangan.

Shafa meraung di dada Rangga. Segala kesal ingin dia tumpahkan pada lelaki ini. Ingin rasa hati memaki, tapi dia tidak akan mampu melakukannya. Menangis dalam dekapan Rangga pada akhirnya adalah sikap yang dipilihnya untuk melampiaskan kecewanya pada Rangga.

Rangga menuntun Shafa masuk ke mobil membungkus tubuh dingin Shafa dengan jas bersih miliknya yang selalu tersedia di mobil. Dalam perjalanan pulang, tidak banyak yang dapat Rangga katakan. Hanya usapan di kepala, pipi dan usapan pada kelopak mata Shafa jika gadis itu menangis kembali. Hatinya sesak mendapati Shafa yang tidak mau memandang wajahnya sama sekali.

"Ganti bajumu, akan aku antar susu panas ke kamarmu," titah Rangga sesaat setelah mereka sampai ke apartemen mereka. Shafa tidak menjawab. Hatinya lelah menerima harapan semu dari Rangga. Salahkan saja hatinya yang memang menyukai harapan-harapan palsu yang dilayangkan Rangga padanya.

Shafa selesai membersihkan diri, bersiap hendak menarik selimut ketika bunyi pintu kamar yang memampangkan sosok laki-laki dengan nampan yang mengalasi susu dan semangkuk sup. Shafa mengurungkan membaringkan tubuhnya. Ditegakkan punggungnya menempel pada kepala ranjang.

Tiap derap kaki lelaki itu mengikis jarak, semakin berdentum dengan cepat pula jantungnya. Dalam pengamatannya, lelaki itu belum mengganti bajunya sama sekali. Kuyup kemeja dan celana suaminya itu membuat Shafa akhirnya iba.

Rangga bersimpuh di tepi ranjang, menggenggam tangan Shafa yang sudah menghangat. Tatap mata keduanya bertemu. Dapat Rangga lihat luka itu masih menyisakan bias kecewa dari bola mata Shafa. Namun dari sana juga tergambar rasa peduli dan sayang, itu yang Rangga tangkap.

"Maaf ... tadi Karina menelepon mendadak sekali---" Rangga menjeda kalimatnya hendak melihat reaksi Shafa. Gadis itu tampak mau mendengarkan. Alisnya bertaut dengan rasa ingin tahu.

"---Ibu Karina meninggal dunia," ucap Rangga kemudian. Terperangah lah Shafa di sana. Duduk kaku di atas ranjangnya. Jika itu alasannya,  Rangga tidak bisa menepati janjinya. Bagaimana mungkin dia akan membiarkan Karina melewati itu semua sendirian?

Shafa menarik nafasnya lalu menghembuskannya pelan. Ditariknya tangan Rangga hingga suaminya itu beranjak dari tempatnya dan duduk di sisi ranjang gadis itu. Shafa menangkup telapak Rangga yang menggenggam sebelah telapaknya. Menyalurkan kehangatan dan kasih sayang. Ditatapnya dengan keteduhan bola mata Rangga.

"Jangan meminta maaf begini mas. Jika itu alasannya, aku nggak apa apa. Hanya saja, kabari aku jadi aku enggak nungguin kamu. Mengabari aku paling satu menit," jelas Shafa.

"Maaf, handphone ku mati, low bat, " jawab Rangga yang tatapnya tak lepas dari sorot mata Shafa.

"Oh...maaf...aku yang emang bodoh, berjam jam nungguin kamu. Harusnya aku langsung pulang saja, " jawab Shafa sendu.

"Enggak kamu nggak salah, aku yang emang lupa, " ucap Rangga menyesal.

"Baju kamu basah mas, ganti baju sana," kata Shafa.

"Kamu makan dulu. Abisin susu sama supnya. Kamu pasti belum makan. Setelah itu, baru aku ganti bajunya. Semakin cepat kamu ngabisin makan kamu, semakin cepat aku ganti bajunya, " kata Rangga setengah mengancam. Shafa tersenyum sangat lebar. Hatinya melayang bahagia diperhatikan oleh suaminya sendiri.

Terburu buru Shafa menghabiskan makannya dan meminum susunya. Hingga tak terasa jika sisa susu dan sisa sup menetes di dagunya. Dengan hati hati, Rangga mengusapnya dengan tissue. Persis seperti yang sering Shafa lakukan jika dirinya makan belepotan. Rangga menatapnya dengan degup jantung yang akhir akhir ini sering berdebar menggila jika memandang gadis itu. Detaknya semakin tak karuan.

"Udah habis. Mas ganti baju sana, bajunya sampe basah gitu. Dan langsung istirahat ya," Shafa menyerahkan nampan berisi gelas dan mangkok kosong pada Rangga besertaan dengan menatap lembut pada lelaki itu.

"Sleep well...," kata Rangga bersamaan dengan sebuah kecupan untuk Shafa di keningnya dengan dalam dan lama.

"Sleep well too, " jawab Shafa saat kecupan itu sesaat lepas dari dahinya sebelum Rangga berderap keluar dari kamar gadis itu.

Genks aku up nih. Rencananya agak sore up nya. Tapi udah ada beberapa yang nagih up. Jadi aku tuh kan gak tegaan, jadi aq up nya sekarang.

Makasih ya udah setia di lapak ini.

Jangan lupa bintangnya ya
Terima kasih

With love
Nowity

Istri yang DiabaikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang