8. Narkotika

1.8K 174 11
                                    

Bulan nampak mengetuk ujung sendok beberapa kali, membuat mereka yang sudah berada di meja makan cukup terusik.

"Bulan kenapa?" Angkasa bertanya saat anak sulung nya memang nampak terlihat gelisah.

"Kamu ada masalah di kampus?"

Gadis itu menoleh sejenak, menatap Mentari lirih. "Mah—" gadis itu mencicit. "Apa kalian gak ngerasa aneh sama sikap Bintang ahir-ahir ini?"

"Aneh gimana maksud nya?" Tanya Angkasa.

Bulan melihat sang papah, lelaki itu menaruh handpone yang sejak tadi ia pegang.

"Waktu itu, dia tiba-tiba masuk ke kamar aku. Bilang nya mau tidur bareng, tapi aku yakin kalo itu cuma alibi dia aja. Dia kaya lupa– di mana kamar nya berada."

Langit nampak mengangguk setuju. "Bener tuh, beberapakali juga dia kelihatan ling lung gitu kan? Kaya bilang nya mau kesini tapi jalan nya kesana."

Anak kedua Angkasa itu nampak mengingat sesuatu, "Waktu itu juga pernah ada yang bilang sama Aku kalo dia ketemu Bintang di koridor kelas  sepuluh—"

"Dan aneh nya Bintang tanya, Perpustakaan di mana? Bukan seharusnya dia udah apal seluk beluk Kencana?"

Angkasa menatap Mentari sejenak, sang istri juga nampak tengah berfikir sesekali melirik kearah kamar Bintang yang tertutup rapat.

Bintang memang belum pulang sejak sore tadi setelah berpamitan pada Mentari untuk pergi ketempat Les.

"Kamu ngerasa ada yang aneh juga Tari?"

Mentari mengangguk, "Aku pernah nemu buku Bintang di dalam kulkas–"

"Mungkin dia lupa." Potong Angkasa. Tau mau berfikir terlalu jauh.

"Aku juga pernah nemu handpone dia di dalam toaster." Mentari menggeleng kecil, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. "kamu bener, mungkin dia cuma lupa. Bintang kita bakal terus baik-baik aja."

"Tapi sikap nya aneh ahir-ahir ini Mah." Cicit Bulan, "Apa gak sebaik nya kita konsultasi ke dokter aja?"

"Atau jangan-jangan—"

Mereka nampak menatap Langit yang tiba-tiba menyahut. menunggu lelaki itu berbicara hal yang sekiranya serius.

"Bintang Narkoba?"

Tak!

Sendok stainless yang di gunakan Angkasa untuk makan kini berpindah mengenai kepala Langit yang mengaduh kesakitan.

"Jangan ngaco kamu! Sembarang aja kalo ngomong!"

Langit mendengus kecil, "Aku kan cuma berpendapat pah!"

"Pendapat lo gak berguna, mending diem." Sahut Bulan sinis.

"Eh tapi gak mungkin juga si, dia kan gak punya temen. Main nya aja cuma sama Bunga-bunga." Langit berucap, kembali menyuap makan malam nya.

"Bunga-bunga?" Cicit Mentari tak mengerti.

"Iya Mah, temen dia kan cuma Kenanga, Lavender sama Alamanda. Itu semua nama bunga kan?"

Bulan mendengus kecil. "Masih mending Bintang temenan sama Bunga-bunga, dari pada lo. Pacaran sama obat pencahar!"

"Nama nya Senna bukan obat pencahar!" Sengit Langit.

"Tapi Senna itu jenis tanaman Obat pencahar kan!"

"Mbul!" Langit tak terima, Senna nya di jadikan bahan guyonan sang kakak, lelaki itu menggeram kesal.

CAHAYA UNTUK BINTANG (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang