91. Roboh

1.6K 120 37
                                    

Juni menatap kearah Bulan yang berada tepat di hadapan nya, membiarkan gadis itu memakan Gelato dengan lelehan air mata yang terus mengalir.

Tadi, Bulan menelpone nya. Meminta Juni untuk menemani gadis itu makan gelato di malam hari.

Beruntung kedai gelato ini adakah kedai milik teman Juni, setidakanya saat waktu bahkan sudah menunhukan pukul setengah dua belas malam kedua nya belum juga di usir meski hanya tinggal mereka berdua dan beberapa pegawai.

"Udah lebih tenang? Mau cerita?" Juni memberikan Bulan beberapa lembar tisu untuk menghapus jejak air mata.

"Kenapa lagi? Soal Bintang?"

Apa lagi hal yang bisa membuat Bulan menangis jika bukan perihal sang adik perempuan. Seakan istilah si sulung dan Si bungsu yang tak pernah bisa terpisahkan itu benar adanya.

"Juni‐ gelato nya pahit." Bulan melirih, karna bahkan secup gelato yang sebelum nya di pesan Juni tak kunjung habis.

"Lidah kamu yang pahit kali," Tangan lelaki itu terurur, menyentuh dahi Bulan sekilas. "Panas, kamu sakit?"

Gadis itu mengangguk kecil. "Iya sakit, sakit banget sampe rasanya pengen mati."

"Bulan—"

"Tadi dia pamitan Juni, Bintang pamitan sama aku dan Langit seakan dia bakal pergi jauh." Ia tersenyum pahit. "Aku harus gimana?"

"Aku gak mau Bintang pergi."

Juni yang awalnya duduk di depan Bulan bangkit, memposisikan tubuh nya di samping sang kekasih. Memeluk tubuh rapuh itu dengan pelan.

"Kenapa?"

"Ya karna aku sayang sama Bintang!"

Lelaki itu mengangguk mengerti, mengusap bahu Bulan yang tak juga berhenti terisak.

"Kamu sayang kan sama Bintang? Kalo iya, harus nya kamu bisa relain dia buat ninggalin rasa sakit—"

"Maksud kamu, kamu nyuruh aku biarin dia mati? Gitu?"

"Bulan–"

Bulan melepas dekapan nya, menatap Juni dengan sorot tak terbaca. "Kamu cape ya?"

Juni mengerutkan kening, merasa bingung akan pertanyaan Bulan untuk nya.

"Kamu cape berhubungan sama aku kan? Kamu mau kita pisah? Pasti kamu cape harus nemenin aku terus malam-malam kaya gini?"

"Bulan cukup," Juni berujar.

"Ayo putus."

Juni menggeleng tegas, Pemikiran Bulan sedang kacau. Gadis itu tentu mengambil keputusan yang salah.

"Bulan." Tangan Juni menggenggam lengan Bulan yang terasa panas, menahan tubuh gadis itu untuk tak pergi dari hadapan nya. "Kamu mau pulang? Biar aku yang anter. Kamu pasti yang cape dan butuh istirahat."

"Gak perlu Juni,"

"Bulan–"

"Juniarka! Kamu ngerti gak si kalo aku pengen sendiri!" Ia berucap ketus, mengangkat telepon genggam nya saat Angkasa tiba-tiba menghubungi.

Kepala yang awalnya terasa pening dengan perut yang sedikit mual kian bertambah. Dunia Bulan seakan berputar saat ucapan singkat Angkas mengiang di benak nya.

"Ke RS ya, adik kamu kritis Bulan."

Bruk!

"Bulan!"

Juni berseru saat Bulan jatuh begitu saja, melirik kearah telepon yang sudah di matikan secara sepihak oleh Angkasa. 

"Bin-tang." Di tengah rasa sakit nya Bulan bergumam nama sang adik.

CAHAYA UNTUK BINTANG (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang