74. Bike

1.1K 112 21
                                    

Pluto mengerutkan kening bingung saat kini waktu sudah menunjukan pukul dua malam, namun Langit masih berdiri di depan pintu kamar Bintang dan Bulan yang tertutup rapat.

Ia memberikan Langit sekaleng soda yang sebelum nya di ambil dari dalam kulkas

"Lo belum tidur?" Tanya Langit, menatap kearah Pluto dalam.

"Lo sendiri?"

Langit menghelanafas berat, tubuh nya lelah meminta nya untuk segera beristirahat. Namun mana mungkin ia bisa tertidur jika sang adik bahkan tak baik-baik saja.

Saat sampai di villa usai pulang dari bukit gadis itu mimisan. Cukup banyak hingga membuat mereka merasa khawatir.

Dan tadi tepat pukul setengah satu malam, Bulan membangunkan nya. Mengatakan bila Bintang terserang demam tinggi yang tentu berhasil membuat Langit resah.

Bahkan hingga kini, saat Bintang sudah di temani Angkasa dan Mentari lelaki itu tetap tak mau beranjak walau hanya menunggu di depan kamar sang adik.

"Nunggu Bintang."

"Dia kenapa?"

Langit tersenyum tipis saat suara Pluto terdengar begitu khawatir, ia menggeleng kecil.

"Demam."

"Parah? Apa ga di bawa ke RS aja? Tadi juga mimisan nya banyak banget. Dia gak papa kan?"

Anak lelaki Angkasa itu menepuk bahu Pluto pelan, seakan saling menguatkan.
"Adik gue Cewe kuat kalo lo lupa."

Ya, Pluto mengakui itu.
Bintang itu sekuat baja. Dengan jiwa kesatria. Demam tak akan membuat gadis itu pergi meninggalkanya kan?

"Lo– sayang sama Bintang?" Tanya Langit pelan.

"Sayang."

Langit mengangguk kecil. "Jadi Kalian beneran pacaran?"

~•~

Bulan menghelanafas sesak saat mata nya jelas melihat Bintang yang amat kesakitan.

Dengan bibir bergetar menahan ringisan yang keluar, tangan nya menggenggam lengan Bintang erat. Menghalau sang adik yang terus meremas rambut nya kasar.

Sssaahhh

"By Hey? Mana yang sakit? Bilang sama Mamah." Mentari berujar lembut,  duduk di samping Bintang yang tak berhenti merintih.

"Se-mua." Suara bernada serak itu terdengar, karna memang sakit nya begitu rata.

Menjalar dari ujung kaki hingga ke atas kepala. Bintang merasa tubuh nya seakan di remukan.

"Kita ke RS aja ya?" Angkasa menyahut, mengusap surai hitam Bintang yang lepek karna keringat.

"Ga‐ ma-u." Ia menggenggam jemari Bulan dengan erat, meski yang Bulan rasa hanya pegangan tak bertenaga.

Nafas nya kian terasa sesak. Bintang memejamkan mata dengan bibir terkatup rapat.

"Mah– Dingin." Gadis itu berujar lirih.

"Iya, Mamah ambilin selimut lagi ya?"

Kepala nya menggeleng lemah. "Peluk aku mah."

"Bintang–"

Tak menunggu apa yang akan Mentari katakan selanjut nya, tangan nya terulur menarik Mentari untuk segera memeluk nya dengan erat.

CAHAYA UNTUK BINTANG (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang