20. Bekal makan siang

1.5K 141 10
                                    

Angkasa terkekeh kecil, mata nya melirik kearah sang istri yang mendengus kasar di sebelah nya. Sesekali memfokuskan pandangan pada jalan yang ada di depan.

Ketiga anak nya– ah tidak. Hanya Langit dan Bulan yang sejak tadi tak berhenti mengoceh, seakan batrai yang sejak pagi di kenakan masih penuh dan tak berkurang sedikitpun.

"Pokonya aku gak terima! aku udah ngabisin koin banyak. Tapi yang dapet malah Langit!" Bulan menggerutu, membuat Bintang yang duduk di tengah-tengah ia dan Langit menghelanafas lelah. Karna Perdebatan kedua nya, tak kunjung usai.

Memang gadis itu bahkan rela bolak balik ke kasir untuk menukarkan uang nya guna mendapatkan koin. Meski semua nya berahir sia-sia karna Bulan bahkan tak mendaptakn apa yang Bintang inginkan.

"Siapa suruh gak bisa main nya? Gue cuma ngabisin lima koin buat dapet boneka itu." Langit melirik kearah boneka bebek yang Bintang genggam. Boneka yang ukuran nya tak lebih dari lima belas senti itu memang cukup menggemaskan.

"Ya meski Bintang nunjuk nya boneka anak ayam si. Tapi ga papa kan By? Kalo di bakar sama-sama enak."

Ya itu untuk ayam dan bebek nya langsung, bukan boneka.

Bintang mengangguk kecil, merasa tak masalah. Ia suka dengan Bebek. Meski lebih cantik Angsa.

"Iya makasih Ko." Ucap nya tulus, ia cukup menikmati acara keluarga yang di laksanakan Angkasa hari ini.

Berbelanja, main, makan. Semua di lakukan dengan sempurna.

"Alah boneka jelek ini!" Bulan menyahut sinis, menusuk-nusuk bebek yang ada di tangan Bintang.

"Apa si di tusuk-tusuk, lo fikir itu boneka santet." Sengit Langit, memukul tangan Bulan pelan. Menyingkirakn tangan putih sang kakak dari boneka Bintang.

"Sombong nya! Liat By, nanti kamu aku beliin boneka yang lebih bagus, lebih mahal, lebih keren dari boneka seuprit yang Langit kasih." Bulan berucap, menatap Bintang dengan sorot meyakinkan.

"Ga perlu, boneka aku udah banyak." Jawab Bintang pelan, mengundang tawa mengejek Langit.

"Di tolak nih?" Goda Langit, membuat  bulan kesal. Ia menjenjet rambut Langit dengan kasar, membenturkan kepala sang adik pada kaca mobil yang tertutup.

Duk!

"Bulan jangan gitu ah, nanti kalo Langit tambah bodoh gimana?" Angkasa memperingati.

"Masud papah Langit bodoh gitu!–Awss sakit mbul!" Langit meringis mencoba melepas tangan Bulan dari rambut badai nya.

"Bulan jangan gitu– kasihan, kalo Langit botak kan jelek." Mentari ikut menyahut, di lirik nya kursi penumpang yang nampak runyam.

"Bulan lepas!"

"Mbul—"

"Bulan Langit stop!"

Kedua tangan adik dan kakak itu saling bertaut, tarik menarik membuat Bintang yang ada di tengah-tengah mereka merasa tak nyaman.

"Ce, Lapasin—Ah!"

Bulan langsung melepas rambut langit saat sikut nya tak sengaja mengenai dada Bintang, di susul ringisan sang adik yang nampak samar.

"Maaf–"

Bintang mengangguk kecil, "Ga papa, udah jangan berantem di mobil." Ucap nya pelan. Tangan kanan nya mengusap dada yang terasa sedikit nyeri.

"Tuh di Bilang gak ngerti, sekarang kena adik nya kan!" Mentari berseru kesal. Menatap Bulan dan Langit bergantian.

CAHAYA UNTUK BINTANG (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang