Pria itu menatap kearah layar ponsel nya, memperlihatkan foto sang anak yang amat begitu ia rindukan di dalam galeri.
Foto yang ia ambil diam-diam saat Bintang tengah membantu Mentari berkebun di halaman samping rumah.
"Bintang–" Ia bergumam pelan.
"Lahir nya kamu bukan sebuah kesalahn sayang, tujuh bulan papah dan mamah tunggu hingga kamu bener-bener hadir di hidup kami."
"Maaf– maafin papah."
Angkasa mengumpat tertahan, menggigit lidah nya karna kesal. Mengapa perkataan nya begitu jahat pada Bintang yang memiliki hati selembut Malaikat?
Gadis itu tak pernah salah, yang membuat semua ini rumit adalah penyakitnya.
Mengapa Angkasa bisa lupa bila sebelum-sebelum nya pun sikap Bintang memang berbeda.
Tatapan nya mengarah ke jalan, pada ruko dan cafe-cafe yang memenuhi jajaran persimpangan di salah satu sudut kota.
Harus nya hari ini ia pergi kekantor, tapi bagiaman bisa ia tetap bekerja dengan tenang saat Bintang pun masih belum di ketahui keberadaan nya.
"Pak Sur stop."
Angkasa berseru, menatap kearah seorang gadis yang berjalan pelan di atas emperan.
Meski memakai pakaian serba tertutup dengan topi dan masker hitam, namun lelaki itu tau bila itu "Bintang!"
Ia bergegas turun, melihat kearah kekanan dan kekiri sebelum menyebrang jalan.
"Bintang!"
Gadis itu menoleh sejenak, tak lama mempercepat jalan nya hingga membuat Angkasa mau tak mau ikut berlari mengejar nya.
"By!"
Srek!
Angkasa menarik lengan nya, mendekap gadis itu dengan erat. Tak membiarkan Bintang untuk kembali berlari.
"Maaf–"
~•~
Bintang membenarkan letak topi hitam yang ia kenakan, topi milik Pluto yang sejak kemarin ia pinjam. Mata nya mengarah pada gedung-gedung bertingkat yang ia lewati.
Kaki nya menapak dengan ragu, berjalan pelan tak tentu arah. Karna Bintang memang tak memiliki tujuan.
Ia hanya ingin lari, pergi, dan berhenti merepotkan orang lain.
Meski terasa berat meninggalkan Agis dan Siga yang sudah ia anggap sebagai Kakek dan nenek nya sendiri.
Telebih meninggalkan Pluto, lelaki itu– cukup berarti dalam hidup nya kini.
"Bintang!"
Gadis itu menegang, terlalu hapal dengan suara berat yang memanggil nama nya tadi.
Ia menoleh sebentar, tak lama berjalan lebih cepat. Bagaiamana bisa Angkasa mengenalinya padahal ia sudah memakai pakaian yang serba tertutup?
Apa ikatan darah memang begitu kuat?
"By!"
Langkah kecil nya terlalu lambat untuk lari Angkasa yang begitu cepat. Tangan nya tergenggam, di susul pelukan yang begitu erat.
Pelukan yang belakangan ini memang Bintang rindukan, gadis itu tak memberontak karna akan terasa percuma. Menghirup aroma sang papah dalam-dalam.
"Maaf–"
Dekapan kedua nya terlepas saat Angkasa tiba-tiba meluruh kejalan yang kotor. Tak perduli celana dan Jas mahal nya akan ternodai akibat bersimpuh di hadapan Bintang.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAHAYA UNTUK BINTANG (END)
Fiksi RemajaRasi Bintang Aquila, Gadis yang menurut orang-orang paling beruntung di sejagat Raya, bahkan keberuntunganya melebihi besar nya Alam semesta. bagai mana tidak? lahir dari keluarga Kencana membuat nya seolah bak seorang tuan Putri Raja. kepintaran, k...