Bintang berbaring dengam selimut yang menutupi tubuh di atas kursi taman, dengan paha Bulan yang menjadi bantalan nya.
Di malam yang dingin ini, gadis itu ingin melihat Bintang. Para cahaya kecil yang kelak akan menjadi teman nya di atas sana.
"Bulan, Langit?"
Bulan yang awalnya tengah melamun tersentak merasa kaget, tak lama melirik kearah Langit sekejap lalu merunduk menatap wajah pucat sang adik yang bercaya tersorot sinar lampu taman.
"Aku boleh pergi gak?"
"Mau pergi kemana lagi By? Ini udah malam." Bulan berseru, mengusap pipi Bintang yang terasa begitu dingin di tangan nya.
"Bukan– bukan pergi jalan-jalan, tapi pergi keatas sana." Tangan nya terulur, menunjuk beberapa Bintang yang bersinar terang malam ini.
"Bintang–"
"Rasa nya sakit banget Bulan, setiap hari sakit." Gadis itu mencela, karna beberapa hari ini sakit itu kembali datang, ia kembali mengingat, rasa sakit yang kian bertambah dari sebelum nya.
"Aku udah gak kuat." Bintang meremas selimut nya saat Bulan nampak tak merespon apa-apa.
Tak lama air mata mulai mengalir membasahi pipi putih Bulan. "Bintang, sampai kapanpun. Kalo bahkan kamu cuma bisa ngedip aja. Aku tetep gak bakal ngelepas kamu."
"Gak perduli seberapa rasa sakit yang kamu tanggung, yang penting kamu tetep di sini. Sama kita." Ia menahan kepala Bintang dengan tangan nya. Tak lama berdiri dan beranjak dari sana.
Meninggalkan Bintang dan Langit yang sejak tadi begitu sibuk dengan pemikiran nya, Bintang benar– tak mudah melawan rasa sakit itu sendiri.
Langit mengerti jika sang adik pun sudah mulai lelah. Tapi, ia juga membenarkan apa yang di katakan Bulan jika mereka memang tak ingin kehilangan Bintang.
"Udah ga usah di fikirin." Langit merengkuh tubuh Bintang dalam dekapan nya, membenarkan letak selimut yang sebelum nya terjatuh kembali membungkus tubuh sang adik.
"Bulan lagi cape mungkin–"
"Kalo cape harus nya di rumah aja, gak perlu kesini terus buat jagain aku. Kalo dia nanti sakit gimana?" Bintang menyahut dengan nada lirih.
Lelaki itu tersenyum kecut, "Bulan pernah bilang, kalo kalian gak ketemu satu hari aja. Dia pasti kangen banget."
"Trus gimana perasaan nya saat tadi lo ngomong gitu By?"
"Aku salah ya?"
Langit menggeleng kecil, mengusap tangan Bintang yang ada di dekat nya. "Niat lo baik, lo cuma mau pamit."
"Bener– lo gak boleh pergi secara tiba-tiba." Lelaki itu menghembuskan nafas resah. "Bintang, kalo emang udah gak kuat, gue gak papa. Gue gak mau lo terus-terusan ngerasa sakit."
Mata Langit mulai berkaca-kaca, "Gue sayang sama lo, kata nya kalo sayang gak harus memiliki kan?"
"Ko–"
Langit menoleh saat Bintang bergumam lirih.
"Makasih," Ia memeluk tubuh Langit lebih erat, Langit sang anak lelaki satu-satunya di keluarga. Bintang mengerti jika Langit memang harus menjaga kedua nya lebih dari seorang kakak keadik nya, atau adik ke kakak nya. Langit berhasil menjaga nya dan Bulan dengan amat sempurna.
"Aku haus–"
"Ayo balik aja ke kamar lo." Langit melepaskan dekapan nya.
"Engga, mau nya tetep di sini. Tolong beliin aja ya?" Ia melempar senyum lebar yang begitu menggemaskan. Membuat Langit jelas tak bisa menerima nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAHAYA UNTUK BINTANG (END)
Teen FictionRasi Bintang Aquila, Gadis yang menurut orang-orang paling beruntung di sejagat Raya, bahkan keberuntunganya melebihi besar nya Alam semesta. bagai mana tidak? lahir dari keluarga Kencana membuat nya seolah bak seorang tuan Putri Raja. kepintaran, k...