Senyum yang terpatri sejak tadi tak kunjung luntur dari bibir Altair, mata nya melirik dari arah kaca spion menatap wajah Bintang yang sedikit tertutup helm fullface milik nya.
Dengan rambut lebih dari sebahu yang berkibar tertiup angin sore yang menyejukan.
"Lo aneh ya By?"
Bintang bergumam kecil kenanggapi, masih tak mengerti apa yang baru saja Altair lontarkan pada nya.
"Tadi siang gue ngerasa lo jahat banget, tapi sekarang kenapa lo kerasa manis?"
"Apasi!" Ketus gadis itu. "Gue males nih pulang bareng lo lagi kalo gak jelas gini."
Bukan nya merasa tersinggung, Altair malah tertawa pelan. "Tadi pagi, gue bangun tidur lebih cepet. Mau masakin seseorang yang belakangan ini terus ada di pikiran gue."
Lelaki itu menyodorkan jari telunjuk di tangan kiri nya, terdapat sebuh plaster penutup luka di sana. "Sampe tangan gue kena pisau."
Bintang melirik sekilas kearah apa yang Altair tunjukan padanya, ada rasa tak enak yang menyelinap tanpa izin kedalam dada.
"Sebelumnya gue udah tanya Langit apa makanan kesukaan lo. Dia gak ngasih keterangan secara spesifik si. Jadi mungin, apa yang gue kasih gak sesuai apa yang lo suka."
Altair masih sibuk berceloteh, sedangn Bintang yang mendengarkan.
"Dia cuma bilang, kalo Lo suka masakan Italia. Awal nya mau masak pasta, tapi terlalu gampang. Nanti lo gak terkesan." Ia tertawa hambar.
"Trus dia juga bilang kalo lo suka masakan Nusantara, gue mau buat kari Ayam. Pake ayam Jago punya papah. Tapi takut gue yang di gorok."
"Jadi gue masak nasi goreng– yang gue kasih ke lo itu udah yang paling bagus. Setelah sebelum nya sempet ke asinan sama gosong."
"Tapi kayanya— lo masih tetep gak suka ya? Buktinya di Lepehin."
Gadis itu menahan nafas, apa Altair tau akan hal itu? Bagaiaman hati nya? Apa baik-baik saja? Ah– pasti merasa begitu terluka atas perbuatan tak terpuji Bintang.
Ia jadi merasa jahat. Jahat sekali hingga tak pantas ada dan duduk di belakang Altair kini.
"Lo tau—"
"Gue lihat sendiri hehe, gue sempet ke kelas lo waktu istirahat. Gue lupa cuma kasih lo makanan tapi gak ada minum nya." Altair menjelaskan. "Tadinya mau kasih lo air putih. Tapi gak jadi–"
"Lo beneran suka sama gue?"
"Menurut lo?"
Bintang tersenyum masam, "Ga tau, gue cuma ngerasa lo kaya mereka aja. Cowo-cowo yang sering ngasih gue coklat, bunga, surat cinta."
"Mereka yang cuma jadiin gue sebagi taruhan dan ajang perlomban."
Ia menerawang jauh kearah jalan, dengan tatapan kosong. "Bagi yang bisa dapetin seorang Rasi Bintang adik nya Langit. Mereka fikir dia cowok yang hebat."
"Gue gak sebangsat itu." Altair mincicit kecil. "Tapi gue ngerti, sikap lo ke gue itu cuma rasa kewaspadaan. Mencegah lebih baik dari mengobati kan?"
"Kenapa lo masih baik?" Bintang bertanya. "Kenapa lo masih mau nganter gue pulang, padahal hati lo udah gue tendang."
"Gue suka sama lo, masih kurang ngerti?"
~•~
Bintang tersenyum kecil, menenteng sepelastik bubur kacang hijau juga kue cubit yang di belikan Altair di pinggir jalan tadi. Meski sedikit rasa menjadi manusia tak tau diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAHAYA UNTUK BINTANG (END)
Teen FictionRasi Bintang Aquila, Gadis yang menurut orang-orang paling beruntung di sejagat Raya, bahkan keberuntunganya melebihi besar nya Alam semesta. bagai mana tidak? lahir dari keluarga Kencana membuat nya seolah bak seorang tuan Putri Raja. kepintaran, k...