Bintang memejamkan mata lelah, meski sejak pagi tadi hanya duduk di dekat Agis yang sibuk membenarkan gitar. Atau mengobrol kecil tentang masakan Nusantara dengan Siga membuat tubuh nya terasa lemah.
Suara-suara bising orang-orang di dalam Bus, di padu dengan rintik air hujan yang mulai menerjang kaca mobil. Menjadi pendengaran nya saat ini.
Ia menghelanafas merasa beruntung karna hujan nya hanya gerimis kecil, tanpa ada suara gemuruh yang menakutkan. Setidaknya lebih baik karna kini ia tak punya penenang.
"Mba bayar." Ia mendongak saat seorang lelaki bertubuh tinggi yang sepertinya kenek menyodorkan tangan nya kearah Bintang.
Ia mengangguk kecil, mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah yang berada di dalam dompet nya. "Segini cukup?"
Lelaki itu menarik selembar uang nominal seratus ribu dari tangan Bintang. "Ini lebih dari cukup. Kembali nya ga papa receh?"
"Kembali?"
"Iya ini uang nya kegedean. Bayar nya cuma sepuluh ribu."
Bintang nampak membulatkan mata, mengapa murah sekali? Padahal jarak antara Halte ke halte cukup jauh.
"Kalo turun di perumahan Jaya Kencana berapa?" Tanya nya pelan, menyebut nama kompleks rumah nya.
Kenek itu tertawa renyah, "Gak bisa masuk lah, masa Bis masuk komplek!"
"Bisa nya turun di halte Jk."
"Jk itu Jaya kencana?"
"Jusuf kala! Ya iyalah. Duh si emba, baru pertamakali naik Bis ya?"
Bintang dengan sepontan mengangguk, ini memang pengalaman pertama menaiki angkutan umum, karna selama hidup nya selalu menumpangi kendaraan pribadi.
"Yaudah, nanti kalo udah di halte JK saya kasih tau." Lelaki itu menyodorkan beberap uang pecahan sepuluh ribuan ke hadapan Bintang. "Kembali nya."
"Ga usah, buat mas nya aja." Jawab Bintang lembut, ya hitung-hitung teraktiran karna kini Bintang sedang bahagia.
Ia melirik kearah tas gitar yang ada di kursi samping nya, gitar Langit yang kini sudah di betulkan kembali seperti semula.
"Bener?"
Bintang mengangguk. "Iya."
Kenek itu tersenyum senang, mengetuk atap Bis dua kali guna menyuruh sang supir berhenti. "Udah sampe Mba, halte Jaya Kencana." Lelaki itu menunjuk halte bus yang nampak sepi.
Membuat Bintang mengangguk kecil, usai melihat plang nama yang ada di atas halte.
"Makasih mas."
"Saya yang harus nya bilang makasih Mba."
Bintang tak menanggapi, ia bergegas turun dari Bis yang sejak tadi mengankut nya. Setelah kembali menggendong tak gitar milik Langit.
"Naik bis seru juga, tapi rada panas." Ia bergumam kecil, mendongak saat rintik hujan kembali turun.
Kaki nya melangkah, menapaki aspal basah. Dengan air yang terus menerjang badan nya hingga terasa dingin.
Tubuh nya berhenti, menatap beberapa blok rumah yang ada di hadapan nya. "Lewat mana ya?"
Ah sial– ia lupa jalan pulang. Padahal kini ia sudah masuk kedalam area kopleks.
Bintang kembali melangkah, mencoba mengingat rumah-rumah yang sekiranya sering ia lewatkan.
Duk!
Ia tersandung batu meringis kecil, mengusap lutut nya yang membiru akibat terjatuh. Belum lagi rok abu-abu nya yang basah terkena Aspal becek.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAHAYA UNTUK BINTANG (END)
Teen FictionRasi Bintang Aquila, Gadis yang menurut orang-orang paling beruntung di sejagat Raya, bahkan keberuntunganya melebihi besar nya Alam semesta. bagai mana tidak? lahir dari keluarga Kencana membuat nya seolah bak seorang tuan Putri Raja. kepintaran, k...