26. Aku bukan Ustad

1.4K 134 21
                                    

Wanita itu menarik selimut sang anak yang merosot, membetulkanya dengan begitu lembut. Takut-takut pergerakan kecil nya bisa membuat Bintang terbangun.

Mentari tersenyum, mengusap surai hitam gadis itu penuh sayang. Pasti Bintang masih begitu mengantuk, mengingat gadis itu baru bisa tertidur pada jam tiga pagi. Setelah sebelum nya terus meringis sakit walau tak berkata apa-apa.

Ah mengingat itu Mentari jadi tak tega, terlebih saat tau Bintang merasa sakit dan ia yang tak bisa melakukan apa-apa.

"Masih belum bangun?" Angkasa bertanya, menaruh paper bag berisi makanan untuk Mentari sarapan.

"Belum, masih nyeyak banget. Padahal dia harus makan terus minum obat." Wanita itu duduk pada Sofa di samping Angkasa.

"Asa–"

Angkasa yang mulai memfokuskan tatapan nya pada Macbook yang ada di atas meja menoleh. "Iyah?" Tanya nya dengan nada lembut.

"Semalam Bintang marah."

"Bukan nya udah biasa? Bukan nya sekarang dia emang lebih sensi?" Tanya Angkasa, mata nya kembali mengarah pada layar 13 inci di hadapanya.

"Kali ini beda Asa, semalam dia bentak aku. Dia ngelempar mangkuk yang aku pegang–"

"Mangkuk Bubur yang pecah di lantai itu karna dia?"

Mentari mengangguk kecil. "Iya, dia bener-bener emosi padahal cuma aku suruh makan."

Wanita itu membasahi bibir nya, melirik kearah Bintang yang masih tertidur pulas. Beralih pada sang suami yang tengah sibuk mengurus perkerjaan nya.

"Asa apa gak sebaik nya kita bawa paranormal? Atau ustad buat liat Bintang?"

Angkasa yang tengah mengetik menghentikan kegiatan nya, ia menatap Mentari yang menunjukan mimik begitu cemas.

Tertawa kecil. "Astaga, kamu fikir Bintang kesambet? Cukup Langit aja yang ngada-ngada bilang kalo dia pake narkoba ya?"

"Asa tapi–"

"Aku gak percaya Tari! Lagian Bintang bukan anak yang suka aneh-aneh. Rajin solat, rajin ngaji, orang tua di hormati. Jadi gak mungkin. Okey?"

Mentari menggeleng, mengcengkram lengan Angkasa. "Asa denger dulu, semalam waktu dia ngelakuin hal itu ke aku. Waktu dia bentak-bentak aku. Sorot mata nya kosong."

"Itu bukan Bintang– dia kerasa asing."

Angkasa terdiam sesaat, mata nya menatap Bintang yang masih berbaring memejamkan mata di berankar. Ini bukan kali pertama Bintang seperti itu.

Beberapa hari yang lalu pun sama, Bintang marah, membentak, melempar barang. Dan Mentari benar, Bintang mereka terlihat amat asing.

"Okey, kita panggil Ustad. Tapi jangan bilang kalo dia ustad. Bilang aja dia temen aku yang mau Jenguk Bintang–"

"Kamu tau se-rasional apa pemikiran nya."

~•~

Langit mendudukan tubuh nya di samping Mentari yang tengah menyuapi sang adik, tersenyum saat Bintang mau memakan bubur kacang hijau yang sempat ia beli tadi.

"Cepet sembuh ya? Nanti gue kasih hadiah."

Bintang yang tengah sibuk mengunyah menatap Langit penuh minat, "Hadiah?"

"Iya hadiah, kalo udah pulang ke rumah nanti gue kasih." Lelaki itu tersenyum, mengusap bibir Bintang yang terdapat sisa Bubur tanpa rasa Jijik sedikit pun. "Sebagai permintaan maaf atas masalah kita yang kemarin."

CAHAYA UNTUK BINTANG (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang