Lelaki itu duduk tepat di hadapan Bintang yang terdiam, seakan jiwa nya tengah melayang entah pergi ke mana. Yang ada hanya raga nya yang diam-diam mulai meneteskan air mata.
Altair menaruh Roti juga dua kotak susu coklat ke atas meja. "Kedai nya udah pada tutup, cuma itu aja yang ada." Ia berujar melirik kearah area kantin yang sebagian ruangan nya yang bahkan sudah di gelapkan.
Mengingat sekarang bahkan sudah hampir tengah malam, "Atau mau cari tempat makan yang masih buka?"
Terdiam, Bintang bahkan menatap kosong kearah lain.
"By kalo tau lo bakal kaya gini mending tadi gak usah tranfusi, lo butuh makan. Lo butuh energi!" Altair menggeram frustasi.
"Lagi tadi suster nya juga bilang harus nya lo gak boleh lakuin donor itu, tapi kenapa masih keras kepala si?"
"Bintang ayo makan! Gue gak mau lo sakit–"
"Apa perduli lo?" Bintang berujar datar. Menatap Altair dengan sorot tak terbaca.
"Bahkan keluarga gue juga gak perduli kan? Lagian tadi Bulan bener! Satu dua kantong darah gak buat gue mati."
"Bintang—"
"Altair diem." Bintang mencela, bangun dari kursi nya. Meski kepala nya pening dengan dunia yang seakan berputar.
Shhh
Ia melirih, membuat Altair dengan sigap merangkul nya hangat. "Lo masih lemes By."
"Gue mau liat Koko."
"Langit udah baik-baik aja, besok pagi atau lusa juga udah bisa di pindahin ke rumah sakit Kencana." Altair berujar lembut. "Mending sekarang kita pulang, atau mau cari tempat penginapan terdekat?"
Lelaki itu mengusap kepala Bintang dengan sabar, "Lo perlu istirahat."
"Pulang–" Bintang melirih. "Gue mau pulang."
Setelah nya ia berjalan tertatih, meninggalkan Altair yang setia mengikutinya di belakang.
Mengusap air mata nya kasar saat ingatan tentang perkataan Bulan terlintas, kata-kata manis dengan tatapan teduh sang kakak hilang begitu saja.
Apa Bintang memang benar-benar tak berguna? Apa Bintang egois? Apa Bintang ingin ini semua terjadi?
Apa Bulan fikir Bintang mau memiliki penyakit seperti ini?
Bila saja sang Kakak memang tak menyukainya, mengapa tak bilang langsung pada Bintang. Mengapa harus pada Mentari seakan Bintang tak ada.
Mengapa Bulan setega itu, Jadi selama ini, kata-kata penenang yang gadis itu ucapkan bukan apa-apa? Jadi selama ini Bulan memendam kekesalan nya?
Setelah Langit, Bulan pun mengatakan hal yang sama. Bintang memang menyusahkan.
Apa hanya mereka berdua yang berfikir seperti itu? Atau tanpa Bintang ketahui Angkasa dan Mentari juga berfikir demikian?
"Bintang?"
Bintang menoleh saat Altair memanggil nya lembut, apa Altair juga sama begitu?
"Alta gue nyusahin ya?"
Lelaki itu menggeleng cepat sebagai jawaban. "Engga."
"Tapi tadi– tadi Bulan bilang begitu, Langit juga pernah ngomong hal yang sa-ma." Suara nya bergetar, dengan pelupuk mata berair yang siap di jatuhkan kembali.
"Ga ada, Ka Bulan cuma lagi panik aja-"
"Tapi gue sadar, gue emamg nyusahin kok." Lagi Bintang berujar, "Lo jangan deket-deket sama gue– Nanti ikut susah."
KAMU SEDANG MEMBACA
CAHAYA UNTUK BINTANG (END)
Teen FictionRasi Bintang Aquila, Gadis yang menurut orang-orang paling beruntung di sejagat Raya, bahkan keberuntunganya melebihi besar nya Alam semesta. bagai mana tidak? lahir dari keluarga Kencana membuat nya seolah bak seorang tuan Putri Raja. kepintaran, k...