"Kamu ngerokok?"
Angkasa menoleh kearah Mentari yang sudah berdiri di depan pintu kaca pembatas antara Kamar dan Balkon, menghelanfas lelah.
Seingat nya terahir ia menjadi perokok aktif saat Bintang masih berumur tiga tahun. Dan kembali mengisap batang nikotin itu saat pikiran nya kalut, seperti sekarang ini.
"Pasti berat ya?"
Mentari melangkah, duduk di samping Angkasa yang sudah mematikan puntung rokok yang sebelum nya menyala.
"Engga kok, kan jalanin nya sama kamu." Angkasa menjawab, tersenyum lembut.
"Justru karna jalanin nya sama aku jadi kerasa makin susah– aku tau Asa, aku sadar diri kalo aku egois."
Lelaki itu menggeleng, "Kamu cuma mau yang terbaik Tari, dan kamu gak perlu ngerasa jahat akan hal itu."
"Asa–" Mentari menggengam tangan Angkasa yang terasa hangat. "Dia tertekan, Bintang tertekan karna aku. tadi untuk pertama kali nya dia ngomong."
"Aku Bingung– aku sadar semua yang aku lakuin itu ternyata salah."
"Trus aku harus apa?"
Angkasa menatap sang Istri dalam.
"Kita kasih dia kesempatan ya? Kita kasih dia ruang biar gak terlalu ngerasa sesak. Biar Bintang kita bisa hidup bebas seperti Bulan Dan Langit nya.""Tapi—"
"Percaya ya?" Lelaki itu memotong ucapan Mentari. "Selama ini, kita bisa liat kalo dia baik-baik aja kan?"
"Tari, Bintang kita kuat."
"Rasi Bintang Aquila itu Simbolisme Elang, gagah dan gak kenal lelah."
"Jadi mulai sekarang, Kamu jangan terlalu memforsir Bintang untuk terus jadi yang terdepan. Biar suatu hari saat dia gagal– dia gak terlalu ngerasa hancur."
"Karna dia juga pernah ngerasa kalah."
Mentari mengangguk kecil, menyetujui apa yang di ucapkan Angkasa. "Iya Asa–"
"Udah yuk masuk, udara nya makin dingin." Angkasa merangkul Mentari kedalam dekapan nya.
"Iya, kayanya sebentar lagi bakal hujan."
~•~
Hujan lebat di sertai petir yang bergemuruh membuat Bintang tak tenang, jantung nya berdetak dua kali lipat lebih cepat dari biasa nya.
Gadis itu bangun, memeluk lutut nya erat, meremas selimut yang menutupi sebagian kaki nya dengan perasaan gundah.
Ia tak suka hujan, ia takut dengan suara-suara besar yang di hasilkan petir di luar sana.
Beberapa kali kilat menyala menembus jendela kamar yang hanya di kuasai oleh cahaya redup dari lampu tidur di atas nakas.
"Mamah—" Gadis itu butuh Mentari, di dingin nya malam ini. Ia butuh hangat nya sang mamah.
Namun ia masih marah, ia marah terhadap apa yang Mentari lakukan padanya Sore tadi.
Bintang makin mengencangkan pelukan terhadap lutut nya, dengan nafas yang kian sesak karna merasa semakin takut—
KAMU SEDANG MEMBACA
CAHAYA UNTUK BINTANG (END)
Teen FictionRasi Bintang Aquila, Gadis yang menurut orang-orang paling beruntung di sejagat Raya, bahkan keberuntunganya melebihi besar nya Alam semesta. bagai mana tidak? lahir dari keluarga Kencana membuat nya seolah bak seorang tuan Putri Raja. kepintaran, k...