93. Cahaya yang meredup

1.9K 123 12
                                    

Aurora menggeliat saat rasa sakit nya terus menerus datang, menekan perut nya begitu kencang seakan tengah di injak.

Ia meringis pelan, meringkuk di atas ranjang nya dengan perlahan.

"Mah–"

Aria di sana, menggenggam tangan Sang anak dengan erat. Seolah tak ingin melepaskan.

"Sakit."

"Sabar ya sayang, sebentar lagi sakit nya pasti akan hilang." Mata nya mulai berembun. Terlebih saat ingat perbincangan nya tadi bersama Bumi dan Angkasa, saat mereka sepakat untuk membujuk Mentari supaya mau  merelakan Bintang.

"Donor nya– papah hampir dapat."

Sakit yang awalnya terus mengh1ujam nya kini mulai beransur hilang, di gantikan rasa terkejut juga senang yang melingkupi perasaan nya.

"Siapa?" Suara nya terdengar serak, takut-takut Bintang yang ternyata–

"Ada," Suara Aria tercekat. "Korban kecelakaan."

Aurora mengangguk kecil, "Apa Jantung atau paru-paru nya bisa buat Bintang Juga?"

Wanita itu menatap Aurora dengan rasa sedih yang begitu besar, "Beberapa organ nya gak tertolong, tapi hati nya masih bagus." Aria mengusap surai hitam sang anak.

"Kamu sabar ya, tunggu sebentara aja lagi. Bertahan Buat mamah."

Ia mengangguk dengan cepat, melempar Senyum lebar di wajah pucat nya kearah Mentari. "Oprasi nya kapan mah? Rora udah gak sabar."

Tak menjawab, Aria malah mendongak. Menghalau Air mata nya menetes di depan sang anak.

Wanita itu merasa tersakiti jika ingat kesembuhan sang anak adalah hasil pengorbanan orang lain.

Terlebih ini Bintang, anak bungsu Mentari yang begitu ia Sayang.

Bintang yang pendiam, namun tetap terlihat manis. Bintang yang tak pernah menyimpan dendam, karna selalu bisa memaafkan.

Bintang mereka, cahaya keluarga kencana.

"Kalo aku udah sembuh, aku mau nunggu Bintang di sini. Nemenin dia jalanin pengobatan. Sampe bener-bener pulih."

"Aku udah janji buat ajak dia keliling, colosseum."

"Selama ini, kalo mereka ke Italia. Bintang gak pernah kesana."

Aria mengangguk setuju, meski hatinya ingin berteriak karna begitu merasa bersalah.

Pada Bintang, pada Aurora. Dan pada Mentari yang tentu merasa sakit hati.

"Iyah– nanti kita ajak Bintang jalan-jalan kesana."

~•~

Uhuk!

Gadis itu mengusap dada nya yang terasa sesak, seperti ada godam besar yang menghampit nya tanpa ampun.

Bintang meringis saat tenggorokan nya begitu terasa panas, ia butuh air untuk menghilangkan sakit nya.

Mata nya melirik kearah sekitar, kosong. Tak ada seoarng pun disana.

Lagi-lagi Bintang di tinggal sendiri.

Sahh

Ringisan itu mulai keluar saat rasa sakit nya kain menjadi, tangan nya terurur. Berniat meraih segelas air putih yang sebelum nya di letakan di atas nakas.

Sedikit lagi, hingga tangan nya benar-benar sampai menyentuh gelas kaca—

Prang!

CAHAYA UNTUK BINTANG (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang