E m p a t b e l a s

28.9K 2.2K 37
                                    

"Kenapa?" tanya Vani dalam lirih.

"Astaga, Gusti Allah Maha Agung!" Isah berseru karena terkejut melihat mata Vani menatap lurus ke arahnya. "Ya Allah, Non! Jantung bibi nyaris copot, kalau udah bangun bilang, jangan tiba-tiba melek sambil ngeliatin saya kayak gitu, saya kira 'kan Non Vani kesambet."

"Hush! Kalo ngomong jangan ngawur!" protes Vani.

Sambil masih sedikit mengantuk Vani bangun dari posisi berbaring. Dibantu Isah yang memegang punggung gadis itu agar tidak limbung ketika mencoba berdiri.

"Terima kasih ya, Bi. Sudah bantu saya ganti baju, tapi saya mau mandi aja."

"Oh, gitu. Non Vani udah makan belum? Mau bibi buatin makan?"

"Memangnya Bibi nggak masak?"

"Masak sih, tapi siapa tau Non Vani lagi mau makan yang lain, bibi buatin."

"Oh..." Vani berpikir sejenak. "Kalau Bibi nggak keberatan, saya mau Indomie rebus aja pake telor sama sawi."

"Beres, Non. Teh manis angetnya nggak sekalian?"

Vani terkikik geli. "Bibi ini, kayak lagi jualan di warung kopi aja."

"Siapa tau, Non."

"Boleh, Bi. Terima kasih ya," kata Vani.

"Iya, Non. Saya permisi." Isah berjalan keluar dari kamar Vani lalu menutup pintu ruangan itu.

Tak membuang waktu, Vani membersihkan dirinya di kamar mandi. Sepuluh menit kemudian dia keluar dari kamar mengenakan piyama yang sama lalu turun ke bawah. Aroma Indomie rasa kari ayam berhasil memanjakan indera penciuman Vani lalu berhasil membuat perut kelaparan Vani berbunyi lagi.

Dia sudah membayangkan rasa asin kuah mi rebus kesukaannya itu menyapa lidahnya, tapi lamunannya hilang seketika melihat siapa yang sedang duduk di meja makan.

"Kak Lukas..." Vani menggumam pasrah.

Kalau bukan karena perut lapar dan wangi kuah kari ayam, mungkin saat ini Vani lebih memilih untuk kembali ke kamarnya daripada harus makan satu meja lagi dengan pria itu.

"Kenapa sih, selalu kebetulan?" tanya Vani lebih kepada dirinya sendiri.

Vani berdeham pelan saat menarik kursi meja makan tepat di hadapan Lukas. Pria itu jangankan menegur, mengangkat wajahnya saja enggan. Tangan kanannya sibuk menyuap helai demi helai mi instan telur rebus dengan sumpit sementara jari telunjuk tangan kirinya menggeser layar tablet tanpa henti.

Melihat Vani sudah duduk di meja makan, Isah datang membawa segelas teh manis hangat yang diminta gadis itu padanya.

"Terima kasih ya Bi, sama Indomie rebusnya juga makasih sudah dimasakin," kata Vani menunjuk Indomie rebus semangkuk yang telah tersedia di meja makan sebelum Vani datang.

"Iya, Non," jawab Isah kemudian dia mendekatkan wajahnya ke telinga Vani. "Tapi mi rebusnya bukan bibi yang bikin," bisiknya mengakui.

Vani menaikkan alisnya. "Hah? Siapa?"

Isah menujuk dengan dagunya ke arah Lukas seraya berkata, "Itu, bapak."

Lalu Isah beranjak dari tempatnya berdiri sambil tersenyum, seakan-akan dia baru saja melakukan sesuatu yang menyenangkan dirinya. Tentu saja menyenangkan buat Isah, dia senang menggoda pasangan pengantin baru itu.

Bagi Isah, atmosfer rumah tempatnya bekerja itu sedikit berubah sejak kedatangan Vani. Kana sudah tak semurung dulu, Lukas yang lebih sering pulang ke rumah lebih cepat dari biasanya dan lebih sering menghabiskan waktu dengan Kana. Dan Vani...ah, nyonya barunya itu benar-benar orang yang berbeda dari majikannya terdahulu yang hobi menyuruh dan memarahi pekerja di sana.

The Substitute [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang