T i g a p u l u h d e l a p a n

26.6K 1.8K 45
                                        

"Puas lo?"

Jun berteriak tepat di wajah Alya ketika melewati gadis itu yang berdiri diam menonton adegan cinta segitiga di lobi kampus.

"Puas? Belum, lah. Kalau kita jadi nikah baru aku puas." Alya tertawa mencemooh melihat kegundahan Jun dan amarah laki-laki itu karena dibakar cemburu.

Alya menyeringai senang sambil bergumam pelan, "Padahal aku nggak bilang apa-apa ke mas Lukas, tapi hebat juga dia bisa akting di depan Jun, mana mesra banget lagi. Lain kali kalau aku minta tolong mas Lukas buat manas-manasin Jun, mau kali ya? Biar Jun makin benci sama cewek itu."

Alya memang licik, dia sengaja menyuruh Jun berkata hal yang dapat menyakiti hati Vani. Jun yang tak memiliki pilihan, mau tak mau menuruti kemauan gadis itu karena kalau tidak, sesuatu yang tak diinginkan bisa terjadi kapan pun. Dan Alya tahu itu adalah kelemahan Jun untuk dengan mudahnya ia manfaatkan.

-----

Mobil yang dikendarai Lukas sudah masuk ke jalan bebas hambatan. Enam puluh kilometer per jam, kecepatan mobil itu dan Lukas sengaja tak ingin menambah kecepatan lajunya agar ia bisa lebih lama berdua dengan Vani.

Melihat jalanan di sekitarnya Vani mengerutkan  kening. "Aku kira kita mau jemput Kana di rumah mama Gandes?"

"Hmm.., aku rasa biarin aja deh Kana nginep satu malam lagi di sana. Lagi pula, di rumah mama lagi ada anaknya si Yoga, katanya. Nggak apa-apa, sekali-sekali dia main sama sepupunya," ungkap Lukas.

"Oh... Yoga itu sepupu Kak Lukas yang kerja di Gresik, 'kan?"

Lukas mengangguk. "Iya, cuma katanya lagi ada training di Jakarta makanya dibawa deh sekeluarga ke sini. Aslinya sih mereka nginep di hotel, tapi waktu tau Kana lagi dititip ke rumah mama. Anaknya Yoga merengek mau main sama Kana, jadi ya istrinya Yoga nginep deh di sana sama anaknya."

"Mas Yoga-nya?"

"Tetep nginep di hotel."

"Nggak apa-apa tuh Kana nginep semalem lagi?"

"Nggak apa-apa kayaknya, buktinya dia nggak rewel minta pulang, 'kan?"

Vani mengangguk lalu matanya menatap curiga ke Lukas.

"Kenapa ngeliatin saya?" Lukas heran.

"Nggak ngejadiin Kana alasan, 'kan? Supaya bisa berdua aja di rumah?"

Lukas tak bisa menahan senyumnya. "Ya enggak, lah. Kalau kamu nggak percaya telepon aja mama," saran Lukas.

Vani memicingkan matanya. "Yang bener?"

"Beneran Van, astaga!"

Vani mengulum bibirnya menahan senyuman.

"Oh, jadi inget." Vani berkata tiba-tiba mengubah topik pembicaraan. "Kok bisa, tadi cepet banget sampe kampus aku? Bukannya Kak Lukas bilang mau ke kantor? Dari kantor Kak Lukas ke kampus aku nggak mungkin secepet itu, 'kan?"

Lukas memberikan senyuman sebelum menjawab pertanyaan Vani, yang Vani sadari kalau akhir-akhir ini pria itu lebih banyak melempar senyum padanya dibandingkan sebelumnya.

"Saya di kantor cuma sebentar, terus keluar untuk ketemu orang, kebetulan janjiannya di deket kampus kamu. Waktu selesai, saya iseng telepon kamu siapa tau kamu belum pulang."

"Kok bisa kebetulan banget? Kayak waktunya pas gitu."

"Pas gimana?"

Vani mengangkat kedua bahunya lalu menatap jalanan dari kaca jendela di sebelahnya. "Aku ngerasa kayak udah ada yang atur," ujarnya pelan.

The Substitute [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang