D e l a p a n b e l a s

27.6K 2.2K 29
                                    

Mobil yang dikendarai Lukas membelah jalanan kawasan perumahan di selatan Jakarta. Vani tidak mungkin tidak hapal rute jalan menuju ke kediaman orang tuanya itu.

"Ke rumah mama?" tanya Vani yang dibalas dengan gumaman oleh Lukas.

Ingin rasanya Vani mengucap terima kasih karena semenjak hari pernikahannya dia belum pernah kembali lagi ke rumah itu. Sayangnya, rasa gengsinya lebih tinggi daripada sekedar mengucap salah satu kata sakti yang selalu diajarkan orang tuanya sejak ia kecil.

Mobil sedan keluaran Jerman itu berhenti di depan rumah besar tak berpagar.

"Sudah sampe," kata Lukas. "Kana, sudah sampe rumah eyang, nih," ucapnya.

Baik Vani maupun Lukas menoleh ke bangku penumpang di belakang secara berbarengan.

"Yah, tidur," keluh Vani. "Kasian ngantuk dia."

"Nggak apa-apa, kamu turun duluan aja, biar Kana saya yang gendong."

Vani mengangguk menurut. Dia melepas sabuk pengamannya, turun dari mobil terlebih dahulu dan berjalan ke pintu utama rumah itu sambil mengucapkan salam. Seseorang membukakan pintu untuk mereka.

"Walah dalah, Non Vani!" seru seseorang menyambut Vani.

Dia wanita paruh baya yang biasa Vani sapa dengan panggilan mbok Yem, seorang asisten rumah tangga yang telah belasan tahun bekerja untuk kedua orang tua Vani. Bahkan, ketika saat itu Vani masih duduk di bangku sekolah dasar mbok Yem sudah bekerja dengan mereka.

"Mbok Yem apa kabar?" tanya Vani.

"Si mbok sehat, Non," jawabnya. "Wah si mbok kangen, Non Vani belum pernah pulang lagi ke sini, ini malem-malem Non Vani dateng sendirian?" Mata mbok Yem mencari-cari ke belakang tubuh Vani siapa tahu melihat sosok orang lain yang datang bersama anak majikannya itu.

"Enggak, Mbok. Ada Kak Lukas sama Kana."

"Ealah, non kecil juga ikut." Senyum senang terpancar di wajah mbok Yem. "Masuk, Non!" ajaknya.

"Iya, Mbok. Terima kasih ya, aku nyusul."

Vani menunggu di ambang pintu, tak sopan rasanya jika ia masuk terlebih dahulu ke dalam rumah padahal dia tidak datang sendirian. Jadi, dia memutuskan untuk menunggu Lukas dan Kana di sana. Setelah melihat Lukas melewati garasi rumah barulah Vani masuk.

"Assalamualaikum," salamnya.

"Waalaikumsalam," jawab suara nyaring yang sangat dihapal oleh Vani seumur hidupnya.

Ranty, sang ibu menyambut anak bungsunya itu dengan pelukan.

"Ini macet atau gimana jam segini baru sampe?" tanya Ranty.

"Iya tadi macet, Ma," jawab Lukas lalu mencium tangan ibu mertuanya.

"Ya ampun kasian, oalah ini cucu eyang sampe tidur," sambung Ranty. "Sana, Kana-nya ditidurin di kamar aja, nyalain AC-nya dulu jangan lupa," suruh Ranty.

Dipandu Vani, Lukas menggendong Kana menuju sebuah kamar di lantai atas. Kamar yang dulu menjadi tempat Vani menghabiskan waktunya berhari-hari bahkan berjam-jam saat masih tinggal di rumah itu.

Kamar itu tak seluas kamar Vani di rumah Lukas. Hanya ada tempat tidur ukuran queen, satu nakas kecil di salah satu sisi tempat tidur, meja belajar, dan lemari pakaian. Tidak ada kamar mandi pribadi di dalam kamar, juga tidak ada balkon seperti halnya kamar yang ia tempati di rumah Lukas. Namun Vani memiliki jendela besar dengan area duduk yang biasa Vani duduki saat membaca buku atau mendengarkan musik.

Lukas membaringkan putrinya di atas kasur, dan dengan cekatan Vani membuka tote bag yang dipersiapkan Wulan. Mencari-cari ke dalam tas siapa tahu pengasuh keponakannya itu menyiapkan baju tidur Kana. Ternyata perkiraan Vani benar, ada sepasang piyama tidur di dalam tas juga popok sekali pakai.

The Substitute [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang