D u a p u l u h l i m a

29K 2K 69
                                        

Setiap pukul tiga dini hari Lukas selalu terbangun dari tidurnya. Pergi ke kamar mandi, mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat malam yang jarang sekali ia tinggalkan kecuali tidak sengaja bangun kesiangan. Setelah menyelesaikan ibadah, dia akan membuka laptop atau tablet Android-nya, mengecek email, maupun beberapa pekerjaan yang seharusnya bisa dia delegasikan ke staf-nya atau dia kerjakan sendiri jika tak terlalu sibuk sambil menunggu adzan subuh.

Sebelum adzan subuh berkumandang, dia akan keluar dari kamarnya, berjalan ke arah kamar Vani yang pintunya tak pernah terkunci lalu mengintipnya dari celah pintu. Pada mulanya, dia tak pernah lancang masuk ke kamar gadis itu hingga suatu hari dia memberanikan diri, duduk di pinggir kasur yang ditiduri Vani, menatapnya sekilas lalu merapatkan selimut di atas tubuh gadis itu. Hingga hari berikutnya, dia mulai berani mengecup kening Vani saat gadis itu tertidur.

"I wish someday, kita bisa sholat subuh berjamaah," bisiknya ketika bibirnya menyentuh kulit di dahi Vani. "Sampai saat itu tiba, saya akan berusaha."

Empat kali, sesuai pengakuan Lukas dia masuk ke dalam kamar Vani. Dan kali ini adalah kali kelima dia mendatangi kamar dengan balkon itu, tapi sayangnya sesuai ucapan dan janji Vani, dia kini mengunci pintu kamarnya.

"Ah sialan!" umpat Lukas.

Namun dia tidak marah, tidak bisa marah lebih tepatnya. Bagaimana bisa dia marah pada gadis yang ia sukai. Senyum terpatri di wajah tampan Lukas, dia menggeleng-gelengkan kepalanya sembari berujar, "awas ya kamu, Van."

Pintu kamar Kana terbuka, Wulan keluar dari dalamnya. Melihat Lukas berada di depan pintu kamar Vani bukan hal yang aneh bagi Wulan tapi biasanya ia tak sampai bertatap muka dan memilih tak menghiraukan bosnya itu. Namun kali ini, karena tatapan matanya tak sengaja bertemu mau tak mau Wulan menyapanya.

"Misi Pak," pamitnya, anggukan kepala menunjukkan sikap sopannya pada pria itu.

Lukas membalas mengangguk. "Wulan..." panggilnya.

"Iya, Pak."

"Kana masih tidur?"

"Masih, Pak. Ini, anu Pak, non Kana agak anget badannya."

"Anget? Kenapa? Coba saya liat." Lukas bergegas masuk ke dalan kamar Kana.

Gadis kecil itu terbaring berbungkus selimut yang menutupi hingga ke perutnya dan plester kompres di dahinya. Lukas menyentuh bagian leher Kana dengan tangannya.

"Ini udah dicek suhunya?" tanyanya.

"Belum, Pak," jawab Wulan.

"Coba ambil termometer!" perintah Lukas. "Bukan anget lagi ini, di tangan saya aja panas rasanya."

Wulan bergegas, mengambil termometer digital lalu memberikannya kepada Lukas. Lukas membuka sedikit piyama Kana lalu menaruh termometer pada lipatan ketiak putrinya itu. Sambil menunggu hasil, Lukas mengusap sayang wajah Kana yang masih terlelap.

Termometer berbunyi 'bip' dan Lukas segera melihat angka yang tertera pada layar kecil di atasnya.

"Tiga puluh delapan," ucapnya. "Untung kamu nggak rewel ya, Nak."

Lukas mengembalikan lagi termometer ke tangan Wulan lalu memerintahkan pengasuh itu untuk memberikan obat penurun panas.

"Kontrol suhu tubuhnya, kalau demamnya nggak turun setelah minum obat, ketuk pintu kamar saya, nanti dibawa aja ke rumah sakit."

"Baik, Pak."

"Saya mau sholat dulu, pokoknya kalau demamnya nggak turun panggil aja saya," titahnya.

The Substitute [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang