Vani menepuk-nepuk dadanya berkali-kali. Sadar akan perilaku gadis di depannya, Lukas jadi khawatir.
"Kamu kenapa? Keselek?" tanyanya.
Vani tak menjawab.
"Ini minum," anjur Lukas sembari membukakan tutup botol untuk Vani.
Tanpa menunggu Vani mengambil botol air mineral dan nyaris menenggak habis isinya.
"Kalau makan tuh pelan-pelan," nasihat Lukas.
Meskipun sudah minum banyak air, nyatanya tak membuat sesak di dadanya berkurang karena dia masih saja memegangi dadanya.
"Mau pulang aja?" tanya Lukas khawatir.
Vani menggeleng. "Aku nggak apa-apa."
"Kalau mau pulang bilang ya? Saya jadi ngerasa nggak enak ajak kamu ke sini."
Vani menggeleng sekali lagi. "Aku cuma ngerasa sesuatu, tapi nggak tau apa."
Lukas menyatukan alisnya, pandangan matanya lekat menatap Vani seperti tak ingin melepas pandangan begitu saja dari gadis itu. Dilihat berapa kali pun, wajah Vani yang sederhana tanpa riasan tak akan pernah bosan dipandang oleh Lukas. Wajah tanpa make up itu berhasil mengingatkan Lukas ke kenangan dulu, ketika pertama kalinya Lukas melihat Vani remaja, masih berseragam sekolah putih abu-abu.
"Jadi..." Vani membuka suara membuat fokus Lukas kembali yang semula terbang bersama kenangan lama. "Ini kafe-nya, punya siapa? Tadi aku dengar kang Iman bilang ke rekannya yang perempuan kalau kafe ini punya Kakak."
Lukas tersenyum simpul. "Kafe ini punya Tedy awalnya, tapi kemudian dia minta saya untuk tanam modal. Akhirnya kafe ini kami kelola berdua, cuma akhirnya saya dan Tedy nggak punya waktu, itulah kenapa kami rekrut kang Iman, untuk jadi manajer di sini."
"Oh..." Vani menunduk tak berani menatap netra kelam milik Lukas yang kini memperhatikannya lekat.
"Van lihat saya," pinta Lukas dengan lembut.
Suara dalam milik pria itu berhasil menyihir Vani. Dia menurut ketika Lukas meminta untuk menatapnya.
"Kenapa itu tisu dipilin-pilin? Gugup?" Tanpa basa-basi Lukas bertanya, membuat Vani yang kikuk menjadi serba salah.
"Enggak," bantah Vani tapi ucapannya itu bertolak belakang dengan perilakunya.
"Kalo nggak gugup, kenapa nunduk?"
Vani menggigit bibir bagian dalamnya sebelum memberanikan diri untuk berkata, "Aku punya pertanyaan, tapi aku tau Kak Lukas nggak akan suka kalau kita bahas ini."
"Tentang Fela?" tebak Lukas.
Vani mengangguk.
Lukas membuang napas dengan kasar. "Apa yang mau kamu tanya?"
Vani terdiam sesaat, mengingat ucapan ibunya ketika di rumah sakit yang menyatakan kalau ada perbedaan sikap ketika Lukas bersama Fela dengan dirinya. Ia memberanikan diri menatap Lukas sesaat untuk menilai reaksi pria itu sebelum bertanya.
Dengan pilihan kalimat yang tepat, Vani bertanya, "Do you guys love each other?"
Vani ingin mengutuk dirinya sendiri seandainya akibat pertanyaannya itu Lukas merubah suasana hatinya. Dan perkiraan Vani benar, karena tiba-tiba Lukas menaruh kasar sendok yang ia pegang ke atas piring, membuat suara berdenting nyaring yang memekakakkan indera pendengaran.
"Maaf." Vani buru-buru menunduk, tidak pernah mengira kalau pertanyaan itu bisa begitu sensitif bagi Lukas.
"Buat apa kamu mau tau? Bukan urusan kamu ada perasaan apa antara saya dan kakak kamu."
"Iya maaf, nggak usah dijawab kalau nggak mau jawab." Lagi-lagi Vani memilin tisu yang ada dipangkuannya.
Wajah kaku Lukas melunak melihat reaksi takut Vani. Dia menghela napas pelan dan mengumpat di dalam hatinya karena berhasil membuat wajah gadis itu sepucat hantu.
"Jangan takut sama saya, Van..." lirihnya. "Saya minta maaf, nggak seharusnya saya marah sama kamu."
Perlahan Vani mengangkat wajahnya.
Sama seperti Vani, isi kepala Lukas juga sedang berisik. Dia mencoba memilah kata untuk memulai bercerita, cerita yang belum pernah ia bagikan kepada siapa pun.
"Sama seperti kamu, saat saya dijodohkan dengan Fela, saya sedang menyukai seseorang."
Vani menyimak, tidak ingin bersuara pun memotong ucapan Lukas yang terdengar sangat serius.
"Pernikahan saya sama Fela itu amanat mendiang eyang saya, yang kebetulan bersahabat baik dengan kakek kamu. Saya dan Fela mungkin saat itu punya pilihan untuk mengambil jalan lain, dengan menolak perjodohan kami. Namun saya tidak punya alasan untuk menolak begitu juga Fela yang sejak dulu tidak pernah menentang rencana dua keluarga."
Lukas mengubah posisi duduknya kemudian melanjutkan berkata, "Saya pernah bilang sama dia, kalau dia tidak setuju dan ingin membatalkan saya nggak keberatan, tapi ternyata tanpa saya kira dia ingin melanjutkan semua. Akhirnya kami melewati semua tahapannya sampai menikah."
Lukas menatap lekat netra Vani seakan menunggu gadis itu bertanya, tapi karena tak ada suara dari bibir Vani, Lukas meneruskan, "Kamu pasti mau tanya bagaimana nasib orang yang saya suka, 'kan?" Satu sudut bibir Lukas terangkat.
Vani menganguk. "Kenapa waktu itu nggak...tau 'kan maksudnya, tetap bersama orang yang Kak Lukas suka?"
Ada kilau di mata Lukas yang Vani tak bisa artikan maknanya. Lukas tersenyum, tapi Vani tahu kalau senyuman itu tak bisa menyembunyikan pedih di dalam hati pria itu.
"Waktu tau kalau perempuan yang dijodohkan dengan saya itu Fela, saya sadar kalau kesempatan saya bersama dengan orang yang saya suka juga hilang."
Vani mengerutkan keningnya mencoba mencerna ucapan Lukas, tapi tetap saja Vani tak paham.
"Saya berusaha untuk lupain orang itu, tapi semakin saya menghindar justru semakin saya didekatkan sama dia, kayaknya semesta lagi bercanda sama saya."
"Semakin didekatkan? Kak Lukas selingkuh?" tembak Vani.
Lukas terkekeh. "Ya enggak, lah!" bantahnya. "Gini-gini saya juga berusaha untuk menjadi suami yang baik, meskipun saya gagal."
"Nyesel?"
"Enggak."
"Kok gitu?"
"Semua yang udah terjadi nggak ada yang perlu disesalin, yang penting gimana kita perbaikin diri kita untuk masa depan."
Vani memandangi kukunya. "Aku juga punya masa depan, yang aku ingin rancang dan berharap orang yang aku sayang ada di masa depan aku itu, cuma sayangnya..." Vani menjeda kalimatnya lalu menatap lekat netra Lukas sembari melanjutkan, "orang yang aku harapkan ada di sana bukan Kak Lukas."
Lukas tergelak, binar di matanya memudar mendengar gadis di hadapannya mengatakan kebenaran dari dalam hatinya.
"Saya paham." Lukas mengangguk lalu menunduk lemah.
Tadinya Vani kira ketika berhasil mengatakan semua dia bisa merasa lega, tapi sebaliknya ada perasaan aneh di hatinya terutama melihat raut wajah Lukas. Untuk pertama kalinya, raut wajah kaku pria itu berubah, meskipun dua sudut bibirnya terangkat tapi tatapan mata pria itu tak bisa berbohong dan Vani merasa pedih.
Dua alis Vani menyatu benaknya bertanya-tanya, apakah Vani baru saja menyakitinya?
"Tapi kasih saya kesempatan, dan membuktikan ke kamu kalau saya juga layak ada di masa depan kamu," pungkas Lukas. "Dan kalau saya gagal, saya janji untuk melangkah mundur dan pergi dari masa depan kamu...selamanya."
.bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Substitute [END]
Romance(Reading list cerita pilihan bulan Mei 2022 WattpadRomanceId) 18+ only Hidup berubah 180 derajat ketika kedua orang tua Vanilla Almira memintanya menjadi ibu sambung bagi keponakannya--Kana, yang usianya baru tiga setengah tahun ketika ditinggal ib...
![The Substitute [END]](https://img.wattpad.com/cover/250253319-64-k965222.jpg)