E n a m p u l u h e m p a t

21.7K 1.3K 7
                                    

Posted by: Rafella Agrifina on 24 November 2018

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Posted by: Rafella Agrifina on 24 November 2018

Apa harapan seluruh anak gadis di dunia ini? Ada banyak, tapi aku yakin salah satunya adalah ketika beranjak dewasa berharap akan menemukan belahan jiwanya, menikah membentuk keluarga yang bahagia, SAMARA- kalau kata orang-orang, memiliki keturunan yang soleh atau solehah, punya rumah impian, pekerjaan yang layak dan lain sebagainya. Buatku, bisa menikah dengan orang yang dicinta dan membina rumah tangga yang harmonis adalah salah satu harapku.

Aku bertemu dengan pria ini, T (kuberi inisial saja ya) ketika aku masih kuliah. Kami bertemu di sebuah klub ternama di Jakarta saat aku menghadiri pesta ulang tahun salah satu teman dekatku. Yang ternyata, T adalah saudara teman dekatku itu. Setelah berkenalan, saling bertukar nomor handphone, saling sapa dan mengobrol di aplikasi Whatsapp, akhirnya T memberanikan diri mengajakku bertemu.

Kencan pertama kami, tidak seperti anak-anak muda kebanyakan yang dihabiskan dengan makan di restoran atau menonton film di bioskop, T mengajakku ke sebuah vila milik keluarganya di kawasan Cipanas. Tidak, kami tidak berduaan di sana, karena ada keluarganya di vila itu yang sedang merayakan ulang tahun pernikahan ayah dan ibunya sambil membakar daging dan jagung. Kencan pertamaku, aku diajak berkenalan dengan seluruh keluarganya. Bagaimana perasaan kalian yang memiliki mimpi untuk menjadi pengantin yang cantik, ketika diajak berkenalan dengan orang tua si dia? Senang? Takut? Ragu? Aku merasakan ketiga hal itu.

"Apa tidak terlalu terburu-buru?" tanyaku saat itu padanya.

Namun kata T mengenalkan seorang perempuan ke hadapan orang tuanya adalah hal yang biasa. Ah, dasar aku yang terlalu ke-geeran, kupikir aku seistimewa itu. Kami resmi berpacaran setelahnya, tapi tak seperti T yang berani mengajakku bertemu keluarganya, aku tak berani mengenalkan dirinya kepada kedua orang tuaku juga kepada adik perempuanku. Bukan karena kedua orang tuaku yang memiliki aturan ketat mengenai pacaran, bukan seperti itu, tapi aku belum siap.

Beberapa bulan semenjak kami resmi pacaran, T mulai memperlihatkan aslinya. Dia, adalah tipe laki-laki yang menganggap kalau tidak masalah melakukan hubungan seks meskipun belum menikah. Sementara aku yang dibesarkan oleh orang tua yang konservatif dan agamis menganggap hal itu sangat tidak lazim, haram, dan tidak patut dilakukan.

Mungkin karena itu, status pacaranku dengan T hanya bertahan enam bulan saja ketika itu. Kami putus karena T bilang, ia lebih memilih berpacaran dengan perempuan yang "mau diajak bersenang-senang" dan baginya aku membosankan.

Setelah putus dengan T, aku berhasil melupakan T sambil menyibukkan diri dengan kegiatan kuliah dan lama sekali kami tak bertemu lagi. Namun terkadang rencana semesta begitu aneh, aku bertemu lagi dengan T setelah lebih dari satu tahun tak bertemu, dan kami mengulang romansa yang sama. Hanya saja kali ini bersyarat, dia tidak akan meminta hal yang "macam-macam" kecuali kuijinkan, tentu saja saat itu tak pernah kuijinkan.

The Substitute [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang