D e l a p a n

30.5K 2.5K 37
                                    

Vani menutup resleting duffle bagnya, semua keperluannya sudah lengkap dimasukkan ke dalam tas itu. Vani siap berangkat ke Surabaya bersama Jun, dengan atau tanpa ijin dari Lukas.

Mama Gandes sang ibu mertua sudah pulang ke rumahnya tadi pagi, membuat Vani begitu bersyukur karena tak perlu repot-repot menjelaskan ke ibu mertuanya itu tentang kepergiannya ke Surabaya.

Tiket elektronik sudah di tangan, Jun sudah mengirimkan ke alamat email Vani semalam. Aplikasi taksi online sudah dibuka di dalam layar ponselnya, dia sudah bersiap-siap menekan tombol pesan ketika sebuah ketukan di pintu kamarnya mengalihkan atensinya.

"Aunty." Suara mungil itu terdengar dari balik pintu. "Ini Kana."

Vani berjalan menuju pintu lalu membukanya untuk mengijinkan gadis kecil itu masuk. Namun saat Vani membuka pintu kamar dengan lebar, sang gadis kecil menggeleng dan enggan masuk ke kamar Vani.

"Kenapa?" tanya Vani.

"Aunty nggak boleh pergi!" seru Kana sembari merentangkan tangannya seperti mencoba menghalangi jalan agar Vani tak melewatinya.

Vani mengerutkan keningnya, dalam benaknya Vani heran, bagaimana Kana tahu kalau dia mau pergi hari itu?

Vani berjongkok di depan keponakannya itu sembari tersenyum. Satu telapak tangannya dia gunakan untuk mengusap pucuk kepala Kana.

"Kana tau dari mana kalau aunty mau pergi?"

"Kata ayah," jawab gadis itu begitu polosnya.

Vani merotasikan bola matanya mendengar pengakuan Kana. Dia geram, bisa-bisanya Lukas memanfaatkan Kana untuk mencegahnya pergi.

Vani tersenyum lagi memandang wajah Kana. "Ayah ada di mana Kana?" tanyanya.

Gadis kecil itu menggeleng.

Vani menghela hembuskan napas perlahan. "Sini aunty anter ke mbak Wulan ya?"

Vani menggandeng telapak tangan Kana yang begitu mungil. Namun langkah kakinya terhenti karena Kana tak ingin beranjak dari tempatnya berdiri.

"Kenapa Kana?" tanya Vani lagi.

"Nggak mau sama mbak Wulan." Lalu gadis kecil itu mulai menangis. "Kana maunya sama Aunty."

Tangisan Kana semakin nyaring, percuma saja Vani mencoba membujuk Kana untuk menghentikan tangisnya karena gadis kecil itu tak mau berhenti. Tangisannya yang menggema di dalam rumah membuat Wulan dan bi Isah ikut menghampiri, dengan segala upaya kedua pekerja di rumah itu mencoba membujuk tapi sia-sia.

"Kana sini sama mbak yuk, auntynya mau berangkat," bujuk Wulan.

"Nggak mau!" teriak Kana. "Kana cuma mau sama Aunty!"

"Aunty cuma pergi tiga hari, nggak lama kok. Nanti aunty pulang, main lagi sama Kana ya?"

"Bohong! Aunty, kayak bunda, suka bohong sama Kana!"

Hati Vani begitu perih mendengar anak seusia Kana bisa berkata seperti itu. Bukan hardikannya yang membuat Vani merasakan perih tapi kenyataan bahwa anak sekecil ini bisa merasakan kehilangan akan sosok ibunya itu yang membuat miris.

Vani membawa tubuh kecil Kana ke dalam pelukannya. Menggendongnya lalu menepuk-nepuk punggungnya sementara keponakannya itu belum juga berhenti menangis.

"Kana maunya Aunty bobo di kamar Kana lagi. Aunty jangan pergi."

"Ssht, nggak usah nangis, nanti aunty bobo di kamar Kana ya, atau gantian Kana yang bobo di kamar aunty juga boleh." Vani masih menepuk-nepuk punggung keponakannya itu. "Berhenti nangisnya ya, Sayang."

The Substitute [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang