T u j u h

31.8K 2.5K 25
                                    

"Mama ingin cucu, dari kalian!"

Air perasan lemon dan madu yang sedang diseruput oleh Vani nyaris disemburkan olehnya setelah mendengarkan ucapan ibu mertuanya itu. Lukas menyunggingkan senyum di wajahnya, meskipun tipis tapi Vani bisa melihat kalau senyum itu tadi diperlihatkan oleh laki-laki itu.

Bisa-bisanya orang ini cuma senyum, ngomong dong kak! Benak Vani.

Seakan bisa membaca pikiran Vani, Lukas berdeham lalu bersuara, "Ya, nggak bisa secepet itu, Ma."

"Kenapa nggak bisa? Kalian berdua sehat, kamu sehat, Vani sehat, lalu kenapa nggak bisa?"

Lukas menggaruk bagian belakang kepalanya, dia merasa kikuk mengapa topik ini bisa tiba-tiba terpikirkan oleh ibunya.

"Kana kan masih kecil, Ma." Lukas berasalan.

"Siapa bilang?" potong ibunya dengan cepat. "Tadi sore, mama tanya sama Kana, mau ndak dia punya adek. Dia bilang mau kok!" seru Gandes.

Kali ini Vani terbatuk-batuk mendengarnya.

"Diminum air putihnya, Van," anjur sang ibu mertua. "Lagian kalau terlalu lama sendirian ndak punya adik, nanti dia jadi manja."

"Iya, tapi—" bantah Lukas.

"Tapi opo? Ndak ada tapi-tapi, lebih cepet lebih baik," potong Gandes tanpa basa-basi.

"Tapi Vani masih kuliah, Ma. Biarin Vani selesain kuliahnya, abis itu—" Lukas menggantung kalimatnya membuat jantung Vani berdegup kencang menunggu kira-kira Lukas akan berkata apa pada ibunya.

"Abis itu apa?" sela Gandes.

"Abis itu baru dipikirin." Lukas tertawa nyengir.

Kak Lukas bisa nyengir juga? Heran Vani.

"Alah kebanyakan mikir! Tinggal bikin entar malem, terus jadi," kelakar Gandes.

Lalu setelahnya perempuan paruh baya itu terbahak hingga air mata mengintip dari sudut matanya. Gandes tidak sadar kalau ada sepasang manusia kikuk yang saat ini salah tingkah setelah mendengar candaannya.

"Kenapa pada diem?" tanya Gandes. "Kayak kalian sejak nikah nggak pernah...eh, jangan-jangan memang belum pernah?"

Dua orang yang ditanya itu hanya melongo sambil memberikan tatapan kosong tanpa berkata apapun.

"Astaga!" teriak Gandes. "Lukas, kamu ini laki-laki apa bukan?"

"Ya, laki-laki lah," jawabnya kikuk. "Mama gimana?"

"Maaf-maaf, mama bercanda." Gandes menghela napas dalam. "Gini ya, bukannya mama itu maksa, tapi usia mama sama papa itu udah nggak muda lagi, boleh dong kalau mama minta cucu sama kalian?"

"Mintanya sama Tuhan Ma, jangan ke Lukas," protes Lukas.

"Ya iya bener, tapi kan yang usaha kalian."

Gandes berdiri dari tempatnya duduk memanggil sang asisten rumah tangga—bi Isah untuk membawakan puding dan buah yang telah dipotong. Wanita anggun itu lalu duduk lagi di tempatnya semula.

"Nunda punya momongan itu ndak baik, itu sama aja kayak nolak rejeki dari Tuhan," kata Gandes.

Gandes mengambil sepotong puding karamel dari mangkuk Pyrex yang dibawa bi Isah. Kemudian meletakkan di atas piring-piring kecil, lalu membagikannya ke anak dan menantunya itu.

"Ini mama yang bawa dari rumah, kesukaannya Lukas. Kapan-kapan Vani belajar bikinnya ya?"

Permintaan ibu mertuanya itu dibalas anggukan oleh Vani.

The Substitute [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang