T i g a p u l u h

26.3K 1.8K 44
                                    

Gandes sudah mengatakan tidak akan menginap malam itu, membuat Vani bernapas lega. Ibu mertuanya itu memilih pulang lebih larut karena menunggu tukang jahit yang berjanji datang untuk mengukur tubuhnya, tubuh Vani juga Kana untuk membuat baju seragam yang akan dipakai pada acara keluarga bulan depan di Bandung.

Vani tak memiliki ide acara keluarga apa yang dimaksud Gandes karena perempuan itu tak memberikan informasi detil.

"Kumpul makan-makan sama syukuran," terang Gandes ketika Vani bertanya.

Namun Vani tak habis pikir, jika hanya acara syukuran mengapa harus memakai seragam?

"Seperti acara resepsi pernikahan saja," gumam Vani saat bahan tile bermanik mutiara berwarna salem untuk membuat seragam diperlihatkan oleh Gandes ke tukang jahit.

Lukas yang sedari tadi memperhatikan wajah bingung Vani mendekat dan duduk di samping Vani. "Kenapa?"

Membuat Vani menoleh. "Mama-nya Kak Lukas nggak bilang apa-apa soal acara keluarga ini? Beneran harus pakai seragam ya?"

Lukas terkikik. "Ikutin aja deh, Van. Saya juga nggak tau maunya mama gimana? Jangankan kamu, saya aja nggak paham acara keluarga ini mau ngapain."

Vani mengalihkan pandangannya ke tukang jahit yang kini mengukur tubuh mungil Kana. Ruang tamu rumah Lukas mendadak jadi berantakan karena kain-kain berserakan di sana, juga majalah-majalah mode yang halamannya terbuka demi mencari model baju yang akan dijahit.

Gandes memilih-milih model kebaya, dan sesuai saran Lukas agar Vani mengikuti saja mau ibu mertuanya itu. Vani hanya mengangguk dan berkata 'bagus' setiap kali Gandes memperlihatkan model kebaya dari dalam halaman majalah.

"Jangan bagus-bagus aja, Van. Dipilih mau model yang mana?"

"Semuanya bagus, Ma. Vani bingung," aku Vani.

Gandes menghela napas kasar lalu menoleh ke perempuan muda yang sedang mencatat ukuran tubuh Kana pada sebuah layar iPad.

"Mbak..." panggil Gandes. "Kalau bikin kaftan bisa 'kan pakai bahan ini?"

"Bisa Bu, apa aja bisa pakai bahan ini."

"Kalau gitu dibikin kaftan aja semuanya, yang buat Kana juga," saran Gandes. "Kayak gini, nih." Gandes memperlihatkan sebuah gambar dari salah satu halaman majalah.

"Bisa, Bu," sahut sang penjahit. "Tapi palingan nambah bahan buat dalemannya nggak apa-apa 'kan, Bu?"

"Iya kamu atur ajalah, saya percaya aja. Lagi pula udah langganan, udah biasa bikin sama kamu saya selalu puas sama hasilnya," ucap Gandes.

Penjahit muda itu tersipu. "Terima kasih, Bu."

Tepat pukul delapan ruang tamu yang semula berantakan rapi seperti semula. Gandes sudah pulang bersama dengan tukang jahit diantar oleh supir pribadi Gandes yang selama seharian menunggunya di rumah Lukas.

Vani meregangkan pergelangan tangannya ke atas, dia merasa sangat pegal dan lelah seharian ini. Menemani Gandes dan meladeni pembicaraan dengan perempuan anggun itu. Siapa sangka, hanya duduk dan mendengarkan ocehan mertuanya itu bisa sangat menguras energi?

"Tidur, Van?" sapa Lukas ketika melihat Vani sudah berdiri di puncak anak tangga.

Vani mengangguk, pipinya kini merona merah kala tanpa sengaja ingatan sialan pada siang hari ketika tanpa sengaja melihat Lukas melepas pakaian di dalam kamarnya berkelebat masuk tanpa permisi di dalam kepalanya.

"Kamu kenapa? Sakit? Mukanya merah." Lukas sudah siap menjulurkan telapak tangan untuk menyentuh dahi Vani ketika dengan cepat Vani menepisnya.

"Aku nggak apa-apa!" bantah Vani lalu berlalu cepat masuk ke dalam kamarnya.

The Substitute [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang