D u a p u l u h s a t u

29.1K 2.2K 39
                                        

Langit-langit di dalam kamar Vani seakan berputar, dia beberapa kali memijit-mijit keningnya dalam posisi duduk sehabis bangun tidur. Pantulan dirinya yang terlihat dari cermin sangat tidak enak dipandang, rambut acak-acakan, wajahnya pun layu seperti tanaman mawar di kebun samping rumah orang tuanya yang lupa disiram air selama berhari-hari.

Ia menghembuskan napas lelah ketika dilihatnya ada setitik noda merah di lapisan sprei putih kasurnya. Sambil berdecak ia bangun perlahan dari tempatnya duduk, menahan nyeri yang melanda tiba-tiba di area perut bagian bawahnya, juga kepala yang terasa begitu berat tak seperti biasanya.

"Setiap mens selalu begini," keluhnya.

Ia masih sempat mengambil ponsel yang dibiarkannya aktif semalaman, berharap ada notifikasi masuk ke dalamnya, pesan teks, chat, atau apapun yang sangat dia tunggu.

Sebulan lebih sejak bertemu di kampus, Jun menghilang, dan Vani lagi-lagi tidak tahu bagaimana keadaan Jun. Hanya dari unggahan sosial media milik Astrid-lah, Vani tahu kalau Jun baik-baik saja.

Tidak hanya Jun, Lukas juga sudah seminggu lebih ini tak berada di rumah, bukannya Vani merasa kehilangan atau bagaimana, tapi setelah kejadian di kampusnya saat itu, Lukas seakan menjaga jaraknya dengan Vani. Padahal jauh di dalam benaknya, Vani paham kalau dia berhak tahu lebih alasan yang Lukas utarakan kala itu.

"Satu-satunya alasan, tapi apa?" desak Vani kala itu.

Namun, Lukas memilih tak membuka mulutnya ketika Vani bertanya dan ingin mengetahui maksudnya lebih rinci. Dia bungkam, bahkan ketika mereka sampai di rumah hari itu, dan berminggu-minggu berikutnya Lukas pergi tanpa pamit hingga sekarang. Sementara Vani, terlalu malas bertanya ke mana pria itu beranjak selama ini.

Bulir-bulir keringat membasahi wajah Vani, nyeri yang ia rasa tak tertahankan, begitu juga dengan rasa pening di kepalanya. Maka ketika mencoba melangkah ke kamar mandi keseimbangan tubuhnya sedikit berkurang, Vani jatuh tak sadarkan diri.

<The Substitute>

Pencahayaan ruang begitu redup ketika Vani membuka matanya, rasa nyeri di perutnya berangsur hilang begitu juga sakit di kepala yang awalnya terasa begitu mengganggu. Kini, rasa nyeri itu ia rasakan di salah satu punggung tangannya, ada selang kecil dan perekat putih menempel di sana.

"Infus?" gumamnya ketika sadar benda apa yang ada di tangannya itu.

Perlahan-lahan pandangan matanya mencoba beradaptasi, menajamkan penglihatannya di balik cahaya yang terbatas. Detik berikutnya dia baru menyadari kalau kamar bercat putih itu bukan kamarnya, dan dia tidak sedang bermimpi.

Di sudut ruangan ada sebuah sofa yang bisa ditarik menjadi kasur, dan Lukas berbaring di atasnya. Ia masih mengenakan kemeja kerja yang sedikit berantakan dan berkerut-kerut karena gerakan tak sengaja ketika pria itu tidur. Bahkan Vani bisa melihat kulit tubuh pria itu yang tak tertutup kain kemeja, membuat Vani memalingkan wajah seraya bergumam, "Dia ngapain di situ?"

Pintu kamar terbuka, dua orang berpakaian seragam biru muda masuk ke dalam ruangan--para perawat.

"Permisi, cek tensinya dulu ya?" kata salah seorang di antara perawat itu.

Membuat Lukas yang sedang tidur di atas sofa mau tak mau membuka matanya karena derit suara roda troli obat dan alat tensi yang begitu memekakkan telinga.

"Eh sudah bangun ternyata," ucap perawat lain yang bertubuh jangkung. "Gimana sudah lebih enakan?"

Vani mengangguk lemah sembari berkata, "Pusing."

The Substitute [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang