Sinar matahari memaksa masuk melalui celah gorden dan menganggu tidur Shani.
Dia terbangun karena merasa hari sudah cerah. Dan benar saja, sudah pukul 7 pagi sekarang.
"Aw! Sakit banget kepalanya." Dia meringis kesakitan berusaha duduk sambil memegangi kepalanya.
"Shan udah bangun?"
"Kak.. k-kenapa aku di kamar? Yang lain mana?"
Lidya sibuk membuka gorden kamarnya. Setelah itu dia menghampiri Shani dan duduk di kasur.
"Shan, gue minta maaf ya.." Ujar Lidya memasang ekspresi wajah bersalahnya.
"M-maaf? Buat apa??"
Shani tentu dibuat bingung oleh permintaan maaf Lidya. Pikirannya bahkan masih bertanya-tanya dan mengingat-ingat apa yang sebenarnya sudah terjadi, namun hasilnya nihil.
Lidya menghela nafas, "Gue.. gue semalem gak sengaja naro alkohol di gelas lo dan beberapa anak lain. Gue gatau kalo itu gelas lo. Dan ternyata lo minum itu."
Shani terdiam namun mulutnya sedikit terbuka karena dia terkejut atas apa yang dilakukannya semalam.
"Alkohol??"
"Shan, lo jangan marah please.."
Raut wajah Lidya sangat ketakutan. Sementara Shani malah menyungginggan senyumnya, namun matanya terlihat berkaca-kaca.
"Gapapa kak. Udah terlanjur."
"Loh.. l-lo kok nangis? Shan pokoknya maafin gue ya lo jangan marah. Ini bukan salah lo kok, lo gak bakal dosa, gue yang nanggung, beneran deh."
Perkataan Lidya membuat Shani tertawa kecil, lalu menghapus air matanya.
"Iya kak, aku maafin. Aku cuma, ga nyangka aja aku minum. Dan kepala aku pusing banget banget."
"Gue ambilin obat ya, bent–"
"Kak," Tangan Shani menahan lengan Lidya, "Makasih udah bawa aku ke kamar."
Lidya kembali duduk.
Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang menguping pembicaraan mereka berdua dari luar kamar.
Awalnya dia ingin masuk untuk melihat keadaan Shani. Namun ketika tahu Lidya di dalam, dia mengurungkan niatnya."Yang bawa lo ke kamar itu Viny."
Deg..
"H-hah?"
Lidya mengangguk, "Lo gak inget? Semalem dia juga nungguin lo deh kayanya. Gatau sampe pagi atau gak."
"A-aku, gak inget apa-apa semalem."
Viny sangat sakit hati mendengar itu, terlebih lagi dia menyesal telah mencium bibir Shani. Dia merasa bersalah.Akhirnya dia berjalan menuju ruang keluarga rumah Lidya untuk bergabung dengan yang lain. Tentu dengan raut wajah yang tidak baik-baik saja.
"Kenapa lo, Vin??" Tanya Rona penasaran.
"Pagi-pagi udah murung aja nih bocah." Celetuk Natalia yang baru selesai mandi.
"Masih ngantuk gue." Viny menutupi wajahnya dengan bantal sofa.
"Cicii!!" Gracia berteriak menghampiri Shani lalu memeluknya. Dia sangat khawatir dengan keadaan Shani. "Cici gimana keadaannya?"
Viny menyingkirkan bantalnya dan menoleh ke arah Shani.
Mata mereka bertemu beberapa detik. Ada banyak kerinduan di dalam mata keduanya. Namun mereka sama-sama menyangkal hal itu.
Shani juga merasa tidak enak karena Viny lah yang membantunya semalam."Cii!" Shani terkejut, "Eh, iyaa?"
"A-aku mandi dulu ya, Ge."
Gracia hanya bisa mengerutkan dahinya melihat tingkah aneh Shani.
"Karna abis mabok kali ya dia aneh gitu?" Gumamnya."Cuy, lo galauin Shani ya?"
"Apaan sih! Ngapain juga?"
Saktia memutar kedua bola matanya, "Susah amat tinggal iyain doang."
"Ya orang nggak."
•••
Seminggu setelah kegiatan reuni itu, Shani mulai melupakan pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi pikirannya.
Padahal awalnya dia sangat pusing akan hal itu. Dia setengah sadar pada malam itu. Namun dia tidak bisa tahu jelas apa yang sebenarnya dia katakan. Dia hanya ingat ada seseorang yang menyentuh bibirnya.
Hari ini merupakan jadwal Shani untuk membantu Henri bekerja di kantor, karena saat ini Papa Shani sedang bertugas ke luar kota. Maka dari itu Henri harus mengganti posisi Papanya untuk meeting dengan client hari ini. Sementara Shani membantu hal-hal kecil yang memang sudah dia pelajari sebelumnya.
"Shan, kamu duduk aja deh jangan mondar-mandir. Client bentar lagi dateng."
"Aku grogii.."
Henri tertawa, "Ngapain grogii?? Ngomong aja gak."
"Gausah ketawa!" Shani duduk dengan kasar setelah mengatakan itu.
–
"Baik, jadi pilih desain yang ini ya."
"Iya, nanti barangkali mau ada perubahan ruangan atau waktu pembangunan mau tambah elemen bisa dikoordinasiin lagi ya, Pak?"
"Iya bisa kok bisa. Nanti hubungi saya aja atau Viny."
"Oke, saya akan hubungi nanti."
"Baik. Kalo begitu kami permisi ya. Terima kasih karena sudah mempercayai kami. Selamat siang."
"Iya sama-sama. Selamat siang."
Keempatnya bergantian untuk bersalaman. Namun Shani dan Viny ragu untuk melakukan hal itu. Dan pada akhirnya, Viny yang memulai duluan dengan memberikan senyum tipisnya.
Seperginya Viny, Shani duduk mendengus kesal.
"Kenapa? Canggung amat ketemu mantan. Belom move on yaa?" Ledek Henri.
"Diem deh! Lagian sengaja banget ngajak aku, ternyata clientnya dia. Tau gitu aku gak mau."
"Ya mana aku tau! Aku aja gak tau kalo dia yang dateng."
Shani menjatuhkan kepalanya ke meja dan menyembunyikan wajahnya di kedua tangannya. Sementara Henri keluar dari ruang meeting tersebut masih dengan tawanya.
Tok tok tok..
Shani mengangkat kepalanya malas, melihat ke arah pintu.
Ceklek..
"Maaf hp sa—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Detik Terakhir [END]
FanficDua perempuan yang dipertemukan untuk saling mencinta. Ini takdir. Dan tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Karena cinta adalah cinta, hingga detik terakhir.