Shani

1.5K 158 34
                                    

Shani merebahkan tubuhnya setelah selesai bersih-bersih. Cukup lelah untuk hari ini namun tidak se-melelahkan theater normal pada umumnya.

Dia menatap langit-langit kamar sejenak. Memikirkan kejadian tadi, yaitu pertemuannya dengan Viny.
Kemudian membuka aplikasi media sosial di ponselnya. Terlihat Viny mengunggah sebuah cerita yang seperti biasa isinya hanyalah foto-foto random tanpa menunjukkan wajahnya.

Shani gelisah. Dia tidak tahu harus bagaimana menyikapi semua ini. Perasaannya campur aduk. Dia tidak bisa bohong bahwa sebenarnya dia.. merindukan Viny.

"Maafin aku, Kak. Aku harus bersikap cuek. Aku gak maksud buat seolah-olah aku gak salah dan aku nyalahin kakak terus aku benci kakak. Tapi justru aku merasa bersalah, aku udah canggung. Aku gak enak sama kamu, Kak. Aku bener-bener kaget waktu Kak Viny ke theater. Rasanya pengen ngumpet. Aku cuma gamau Kak Viny baikin aku kaya tadi terus. Aku gak baik buat Kak Viny. Aku udah jahat. Makanya aku harus ngehindar. Walaupun sebenernya aku.. kangen banget sama Kak Viny." Batin Shani sambil memperhatikan foto-foto Viny di Instagram.

Tanpa dia sadari, air matanya sudah mengalir dari kedua sudut matanya.
Menyesal? Tentu. Karena penyesalan pasti selalu datang di akhir.

Awalnya Shani sudah mulai lupa akan masalah ini. Namun pikirannya kembali dipenuhi oleh rasa bersalahnya ketika pertemuannya dengan Viny tadi. Hal itu sangat sulit bagi Shani. Dia semakin sakit hati karena semakin tidak bisa melupakan Viny apalagi diikuti rasa bersalahnya. Padahal pikirannya sudah cukup tenang untuk jauh-jauh dari masa lalunya.

"Tapi.. kenapa tadi dia kaya berudaha mau ngomong sama aku? Maksudnya apa?" Monolog Shani setelah menemukan kejanggalan yang terjadi di theater tadi.

Akhifnya Shani berniat untuk menelfon Gracia. Dia ingin meminta pendapat akan hal itu. Dan tentunya tentang perasaannya sekarang.

"Halo, Ci.."

"Halo, Ge. Kamu udah nyampe?"

"Udah kok. Tenang aja gausah khawatir sampe nelfon gini ih." Bawel Gracia dengan percaya dirinya.

"Bagus deh. Tapi, aku nelfon bukan buat khawatirin kamu hehe."

"Ih Cici. Terus mau apa kalo gitu?"

"Aku mau cerita sekaligus nanya."

"Cerita apanich kalboltaw??"

"..." Shani menceritakan kejadian dengan Viny tadi. Dia meminta saran pada Gracia apa yang harus dia lakukan jika Viny seperti itu. Apa dengan bersikap cuek dan menghindar adalah hal yang baik atau tidak.

"Mungkin Kak Viny mau deketin Cici lagi."

"Gee.. ya gamungkin lah. Kamu kan tau gimana dia dulu kecewa banget sama aku. Jangan ngaco deh."

"Hemm.. terus perasaan Cici ke Kak Viny gimana sebenernya sekarang. Jujur, masih sayang gak?"

"Gatau, Ge. Aku bingung. Rasanya kaya udah gak pantes aja sayang sama dia. Aku udah jahat banget."

"Cici jangan gitu. Aku tau Cici salah banget waktu itu. Tapi aku yakin kalian masih saling sayang sebenernya."

"Gamungkin, Ge. Dia pasti udah biasa aja sama aku. Masalah dia ngajak aku ngomong juga palingan cuma karna sebatas senior-junior."

"Terus apa yang pengen banget Cici lakuin? Ada rencana? Aku bakal bantu kok."

Shani terlihat berpikir dan menggigit kukunya. Sebenarnya dia sudah memikirkan hal ini sejak lama namun dia terlalu takut untuk mengungkapkan.

"Sebenernya aku pengen banget minta maaf ke dia secara langsung. Dan pengen bersikap biasa aja, Ge. Tapi aku gaberani."

Memang, Shani belum sempat meminta maaf secara langsung pada Viny. Sebenarnya dia sudah datang ke rumah Viny namun Viny selalu nolak untuk bertemu atau dengan alasan dia pergi bersama teman kampusnya.
Bahkan bukan keluar dari mulut Viny sendiri atau sekedar pesan teks. Melainkan orang tua Viny yang memberi tahu ketika Shani datang ke rumahnya.

Detik Terakhir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang