Kakak

1.9K 165 14
                                    

"Kakak ngineep." Rengek Shani sambil menggoyangkan lengan Viny.

"Gabisa sayang, dokumen yang harus aku bawa besok semua di rumah. Aku gabawa laptop juga."

Sontak Shani langsung menjauh dan memasang wajah cemberutnya. Terlihat menggemaskan sekali.

"...Kapan-kapan lagi ya? Kan baru kemaren-kemaren nginep. Ada mama kamu juga kan? Jadi ada temen deh. Gih masuk." Lanjut Viny mengelus rambut Shani.

"Mama kan udah pulang." Ujar Shani masih dengan nada kesalnya.

Seperti anak kecil. Biasanya jika bersama orang lain dia terlihat sangat dewasa, apalagi jika bersama dengan Gracia. Hanya di depan Viny dia bersikap manja seperti ini.

Viny melepas seatbelt yang dia pakai dan membawa Shani ke dalam pelukannya, "Hmm sini-sini.."

Shani menurut layaknya anak kecil yang baru saja diberi mainan. Bedanya, dia masih memasang wajah cemberutnya.

Diusapnya punggung dan kepala Shani, sesekali menciumi puncak kepalanya. Menyalurkan kehangatan melalui pelukan hangat dirinya. Itu lah Viny, paling ahli dalam urusan memeluk dan menenangkan orang lain, terutama Shani-nya itu.

"..aku sayang sama kamu, Indira. Sayaang banget. Jujur, aku pengen nemenin kamu terus, ada di samping kamu terus. Andai Tuhan bisa mentakdirkan kita bersama sampai mati, aku akan menjadi orang yang paling beruntung bisa menjaga kamu dan menyayangi kamu seutuhnya." Viny merenggangkan pelukannya, menangkup wajah Shani dengan kedua tangannya dan menatap mata Shani dalam, "Jangan pernah pergi dari aku, kecuali kalo takdir sudah berkata kamu harus pergi."

Viny mencium lembut bibir Shani. Sangat lembut. Tanpa lumatan sedikitpun. Hanya perasaan sayang yang dia luapkan saat ini.

Air mata Shani mulai menetes saat Viny menciumnya. Mulai mencerna kalimat yang baru saja Viny utarakan. Dia sangat takut jika takdir berkata bahwa mereka harus pisah. Dia hanya ingin hidup bersama kakaknya, orang terbaik dihidupnya selain keluarganya.

"Sayaang kok nangis.." Ujar Viny setelah melepaskan ciumannya.

Padahal Viny juga melakukan hal yamg sama seperti Shani. Menangis.
Bagaimana bisa dia kuat menahan tangis jika memikirkan soal hubungannya dengan Shani. Terlebih lagi mereka menjalani hubungan yang tidak wajar dan umur mereka yang sudah bukan remaja lagi. Pasti ada saatnya mereka mencari pasangan yang sebenarnya, menemani hidupnya sampai tua.

"..hei, jangan nangis doong." Ujar Viny lagi.

"Gimana aku gak nangis kalo kamu juga nangiis." Shani kembali jatuh ke dalam pelukan Viny dan menangis sejadi-jadinya.

Ingin rasanya waktu berhenti saat ini. Agar mereka terus tetap bersama, terus tetap menjadi pasangan kekasih seperti saat ini.

Jujur Viny tidak ingin hari kelulusannya cepat datang. Tapi mau bagaimana lagi? Semuanya memang harus Viny lakukan. Tidak selamanya dia harus berada di grup itu. Apalagi dia harus fokus dengan kuliahnya yang belum selesai, dan juga pekerjaannya di kantor.

"Oke oke, ini aku gak nangis nih liat.. Udah yaa. Semua bakalan baik-baik aja. Kita jalanin yang sekarang dulu." Ujar Viny menghapus air matanya dan air mata Shani secara bergantian.

"..kamu masuk ya. Istirahat. Besok kamu ada kegiatan. Kita ketemu di tempat latihan, okay?"

Shani mengangguk sambil menghapus air matanya, namun masih dengan wajah cemberutnya.

"Udah dong senyuum."

"Iya nih senyum nihh."

"Pinterr. Cium pipi aku dulu dong" Pinta Viny sambil memasang wajah tengilnya.

Detik Terakhir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang