37. A Fact

460 63 191
                                    

Mana nih yang katanya mau ramein tiap part?

Jangan kek Rio dong, omong doang! Jiaaahh wkwkwk slebew.😎🤣

❤❤❤❤❤❤

Tepat sekitar pukul tiga pagi, mereka sudah sampai di vila yang sudah di sewa oleh anggota Osis. Vila itu berukuran cukup besar dan tersadapat sepuluh kamar. Jadi, mereka tinggal bersama agar lebih mudah untuk di atur. Letak vilanya tidak jauh dari panti. Dan bisa di tempuh hanya dengan jalan kaki jika mereka ingin ke sana.

Ify mendapat bagian satu kamar bersama Agni dan Sivia. Lebih tepatnya bukan mendapat karena  mereka berhak bebas memilih satu ruang dengan siapa. Hal itu membuat Ify dan Sivia langsung saling bergandengan tangan. Keduanya juga langsung menarik tangan Agni mendengar dari Obiet satu kamar untuk cewek di isi tiga orang.

"Ngapain lo?" Tanya Ify melihat Gabriel sibuk sendiri di balkon utama lantai atas. Dia sudah selesai merapikan baju dan peralatannya di kamar. Karena masih terlalu pagi, Obiet menyuruh anak-anak lainnya untuk lanjut tidur. Agar tenaga mereka terisi untuk kegiatan nanti siang.

Tapi, Ify tidak bisa tidur sama sekali. Sivia dan Agni pun langsung terlelap begitu merebahkan diri di atas tempat tidur.

"Nyari sinyal!" Jawab Gabriel seraya mendongak dan mengangkat ponselnya.

"Mau nelpon Shilla, ya? Pake hp gue aja nih ada sinyalnya kok."

Gabriel menghentikan kegiatannya lalu menatap Ify penuh semangat. "Serius?"

Ify mengangguk aja. "Heem!" dehemnya santai seraya mengulurkan ponselnya pada Gabriel.

"Thanks." Seru Gabriel menerima ponsel Ify dengan wajah berbinar.

"Tapi gue cuma mau ngechat dia aja. Soalnya pasti masih tidur." Jelas Gabriel mengetikkan pesan untuk Shilla. Kekasihnya itu sedang sakit, jadi tidak mungkin bisa ikut karena kondisinya pasti akan memburuk jika di paksakan.

"Tumben. Jadi perhatian gini lho?" Ify terlihat heran tapi juga senang dengan sikap Gabriel sekarang. Dia menerima ponselnya yang kini di serahkan lagi oleh Gabriel.

"Dia lagi sakit, gue nggak mau aja dia mikir macem karena nggak ngabari. Gue soalnya udah janji juga bakal kasih tahu dia jam berapapun kita nyampe. Tapi sinyalnya bangsat banget.

Ify tersenyum tipis. "Pertahanin, ya? Gue seneng lo mau berubah."

Gabriel mengikuti kegiatan Ify yang sekarang menyandarkan kedua tangannya pada pagar besi yang melingkar di balkon rumah ini. Menatap ke arah jalan yang masih terlihat gelap dan sepi. Dia menghela pelan teringat pada percakapannya dengan Rio malam itu.

"Fy."

"Heem." Sahut Ify tanpa menoleh. Dia memejamkan mata menikmati udara dari tempatnya berdiri. Udara sejuk yang tidak akan pernah ia dapatkan di Jakarta.

"Are you oke?" tanya Gabriel hati-hati.

Ify membuka matanya lalu menggeleng pelan. "Of course, not."

"Perasaan lo masih?"

Ify menghela pelan. "Gue, udah tiga tahun punya perasaan ini, Gab. Jadi, nggak mudah buat ilanginnya. Rio itu-"

"Oke. Nggak usah lo terusin. Gue ngerti." Sela Gabriel tak enak hati.

"Nggak apa-apa, Gab. Gue udah biasa kok. Rasanya, udah nggak terlalu sakit tapi juga tetep sakit." Kekeh Ify. Dia bingung memahami kalimatnya sendiri.

Gabriel tersenyum tipis. "Rio emang temen gue. Dan gue nggak akan minta buat lo ngasih dia kesempatan ataupun maafin dia."

"Gue udah maafin dia, kok. Gue juga nggak marah sama dia. Tapi, bukan berarti gue bisa lupa sama apa yang udah dia lakuin."

Mencintaimu (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang