44. Future Husband

434 51 156
                                    

Alvin menatap Ify khawatir. Karena sejak menjemput gadis itu tadi, wajah Ify terlihat pucat. Ify juga tampak lemas dan tidak seaktif biasanya. Lebih banyak diam juga sepanjang Alvin melajukan mobilnya menuju sekolah.

"Kalau nggak enak badan, kita ke rumah sakit aja, mau?" Tawar Alvin untuk kedua kalinya. Pertama saat dia melihat Ify keluar dari rumahnya. Dan kedua saat ini ketika Alvin sudah memarkirkan mobilnya.

Ify sontak menggeleng kuat. "Nggak!" tanpa sadar ia menyentak. Hingga membuat Alvin mengernyit bingung.

"Gu-gue cuma pusing aja. Nanti juga hilang," jawabnya lalu menghindari tatapan Alvin. Ify tampak gugup dan seperti tengah menyembunyikan sesuatu.

"Bener?" tanya Alvin memastikan.

Ify mengangguk saja. "Iya. Ayo turun!" Dia lantas membuka pintu mobil Alvin dan keluar lebih dulu. Ify berniat untuk langsung berjalan menuju kelasnya tanpa menunggu Alvin. Dia berusaha menghindari tatapan Alvin. Karena ada hal yang memang tak bisa ia sampaikan pada sahabatnya saat ini, sekarang ataupun nanti. Dan Alvin terlalu memahami setiap perubahannya. Jadi, akan sangat sulit bagi Ify untuk mengelak jika mereka terus bersama.

Tapi, langkah Ify langsung berhenti ketika pandangannya reflek menatap ke arah gerbang sekolah. Di sini, Ify sedang mengatur hatinya agar tetap baik-baik saja. Dan itu sangatlah tidak mudah. Ada berbagai macam perasaan di sana. Marah, kesal, iri, sedih, semua perasaan buruk menyatu dalam hatinya.

Chelsea terlihat bahagia sekali di antar oleh kedua orang tuanya. Meski Dion dan Sintya tidak turun, tapi Ify bisa melihat bagaimana wajah ceria Chelsea melambaikan tangannya ke arah jendela kaca mobil yang terbuka. Untungnya, hanya wajah Sintya yang terlihat dari jendela yang terbuka itu. Sehingga rasa sakit hati Ify tidak terlalu menyedihkan. Teringat bahwa, Dion tidak pernah mengantarnya ke sekolah dengan alasan sibuk kerja.

"Jangan di lihat." Ify menoleh ketika merasakan sebuah rangkulan hangat di bahunya. Alvin menghampirinya dan memberinya kekuatan.

Ify mengangguk kecil. Berusaha menampilkan senyum meski itu tidaklah mudah. "Jangan pergi, Alvin," pintanya tampak memohon.

Alvin mengangguk lalu meraih jemari Ify untuk ia genggam. Kemudian menarik Ify agar mengikuti langkahnya menuju area gedung sekolah. Sudah banyak siswa yang berdatangan karena pagi seperti ini, waktu terasa berjalan begitu cepat.

"Fy-"

"Heem."

"Lo baik-baik aja, kan?" tanya Alvin hati-hati dan juga khawatir.

Ify mengangguk dengan senyum. "Iya. Gue baik-baik aja sekarang."

Alvin menoleh sebentar. "Bilang apapun ke gue kalau lo butuh bantuan."

"Iya, Vin. Lo tenang aja." Sahut Ify terdengar sangat ringan. Tapi entah kenapa Alvin merasa Ify sedang pura-pura menguatkan diri saat ini. Dia seperti tengah menyembunyikan dan juga merencanakan sesuatu secara diam-diam. Apalagi bersikap tenang seperti ini bukanlah gaya Ify sama sekali.

"Dan inget, lo nggak pernah sendiri." Alvin menekankan kalimat itu agar Ify selalu ingat dan juga percaya.

"I know-"

"But?" Sela Alvin menoleh.

Ify membalas tatapan Alvin dengan kernyitan. "Nggak ada tapi."

"Tapi gue ngerasa lo bilang tapi dalam hati." Kata Alvin tampak serius.

Ify terkekeh lalu mendorong wajah Alvin dengan tangannya yang bebas. "Sok tahu!" serunya tertawa kecil.

"No, i feel worry." Wajah Alvin masih terlihat serius.

Mencintaimu (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang