70. Surprise

574 50 90
                                    

"Pa, coba deh kamu hubungi Aditya. Ajak dia dan keluarganya makan malam di rumah kita."

Dahi Dion bergelombang menatap Sintya yang tiba-tiba masuk ke kamarnya. Dion pun mengurungkan niatnya untuk merebahkan diri. Lalu mendekat ke arah wanita itu. Agar dia tidak menyentuh ranjangnya.

"Maksud kamu?" tanya Dion merasa bahwa Sintya seperti tengah merencanakan sesuatu.

"Chelsea suka sama Rio, Pa. Anak Aditya, jadi aku mau usaha buat jodohin mer-"

"Nggak akan!" Dion menyela dengan tegas. Nada suaranya pelan tapi tidak dengan tatapannya yang menajam.

"Saya nggak akan pernah setuju Chelsea kamu jodohkan dengan Rio."

Sintya tersenyum sinis. "Kenapa? Karena Ify juga suka sama Rio?"

"Iya." Jawab Dion sedikit menantang. "Dan perlu kamu ingat juga kalau Rio lebih memilih Ify, putriku. Bukan Chelsea!"

"Dion!" seru Sintya kesal. "Aku nggak mau tahu, ya? Rio harus memilih Chelsea gimanapun caranya atau-"

"Atau apa?" tantang Dion tak gentar. "Kamu mau ngancem saya lagi? Iya?" seringaian itu muncul di sudut bibir Dion.

"Nggak akan mempan! Karena saya udah nggak percaya lagi sama kamu!"

Sintya tersentak karena kaget melihat sikap Dion menjadi berani seperti ini. "Pa, kamu kenapa?" tanyanya melembut.

Dion langsung menyampar tangan Sintya yang ingin menyentuhnya. "Nggak usah pura-pura di depan saya lagi, Sintya."

Sintya tampak gelisah dan ketakutan. Takut melihat sikap Dion yang seperti akan bisa lepas darinya. Tidak! Sintya tidak mau itu terjadi. Dia masih mencintai Dion. Sangat mencintai laki-laki ini. "Sayang-"

"Saya jijik denger suara kamu!" sela Dion menyentak kasar.

"Jangan pikir, saya nggak tahu rencana kamu sama Kak Ardhan."

"Rencana apa, Pa? Maksud kamu apa?" tanya Sintya tampak bingung. Lebih tepatnya pura-pura tak mengerti maksud Dion. Guna menutupi rasa kagetnya karena Dion ternyata sudah mengetahui rencananya selama ini. Sial!

Melihat tingkah Sintya yang seolah tersakiti ini, emosi Dion kian memuncak. Tapi, Dion tak tahu bagaimana melampiaskannya. Terlalu banyak hal dari wanita ini yang membuat Dion benci. Sangat benci. Terlebih jika ingat apa yang sudah terjadi pada Alyssa, Dion rasanya ingin sekali membunuh Sintya dengan kedua tangannya sendiri.

"Saya muak, Sintya. Saya muak lihat sikap kamu!" bentak Dion melampiaskan emosi yang sudah ia tahan selama beberapa tahun.

"Dion kam-"

"Diam!" seru Dion masih di kuasai emosinya. Dadanya naik turun menandakan kemarahan Dion memang benar adanya. Membuat Sintya yang semula ingin berjalan mendekat langsung bergerak mundur.

"Kamu dengar-" Desis Dion setengah mengeram. "Malam ini, terakhir saya tinggal di rumah ini dan kamu-" suara Dion meninggi saat melihat Sintya hendak menyelanya. Dia bahkan langsung menunjuk wajah Sintya dengan tatapan tajamnya.

"Nggak akan bisa halangi saya lagi buat hidup sama Ify."

"Dion!" Pekik Sintya berteriak marah.

"Kamu lupa sedang berhadapan dengan siapa, heh? Kamu pikir, Papa Pram bakal diem aja lihat Ify bisa hidup tenang?" Sintya tersenyum sinis sedang kedua matanya tampak menyalang. Terlihat menyeramkan sekali wanita ini.

"Dia itu anak yang nggak pernah Papa Pram harapkan. Dia hanya anak dari wanita rendahan yang berani-beraninya merebut kamu dari aku!"

Dion tertawa sumbang. "Jangan gila Sintya," kekehnya kemudian.

Mencintaimu (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang