Namaku Tokek

90 6 2
                                    

Oleh Agus Kurniawan

Bobo Nomor 37 Tahun XXIX 13 Desember 2001


Namaku Tokek. Bentuk tubuhku mirip dengan cicak, hanya sedikit lebih besar. Aku tinggal di atap rumah keluarga Pak Rahmat. Keluarga ini miskin, namun hidupnya tenteram dan bahagia.

Pak Rahmat mempunyai dua anak, Budi dan Uci. Mereka senang sekali memakai suaraku untuk bersenda gurau. Caranya begini, setiap aku berbunyi, "Tokek ..." Budi mengangkat telunjuk sambil berkata, "Aku." Kemudian pada bunyi yang kedua, "Tokek ..." ganti Uci yang mengangkat telunjuk dan berkata, "Aku." Begitu seterusnya sampai aku tidak bersuara. Nah, anak yang mengangkat telunjuk pada bunyiku yang terakhir, dialah yang kalah dan harus mendapat pukulan. Tentu saja pukulannya pelan dan tidak menyakitkan. Karena mereka saling menyayangi.

 Karena mereka saling menyayangi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada lagi yang lucu. Budi sering menjadikan suaraku untuk meramal apa yang akan dia lakukan. Bila dia ragu-ragu untuk menerima ajakan temannya, maka dia menghitung suaraku.

"Tokek ..." kataku, dan Budi menyahut, "pergi."

"Tokek ..." kataku lagi, disahut oleh Budi, "tidak." Begitu seterusnya sampai aku berhenti bersuara. Bila aku berhenti pada kata "pergi", maka dia terima ajakan temannya. Dan bila sebaliknya, maka ia akan menolak.

Namun yang mengharukan bagiku adalah Uci. Bila sedang sendiri, anak itu sering mengajakku bercakap-cakap. Seolah sedang bicara dengan sahabatnya. Padahal aku hanya diam. Kalaupun aku berkata, dia tidak akan mengerti apa yang aku katakan.

Uci juga sering meletakkan remah-remah roti di atas lemari. Maskudnya untuk diberikan kepadaku. Dia tidak tahu makanan kegemaranku adalah nyamuk, bukan roti. Namun untuk menyenangkan hatinya, remah-remah roti itu terpaksa kumakan juga.

Pada suatu hari aku mengintip Uci dan ibunya sedang berbicara. Kulihat Uci menggaruk sela-sela jemari kakinya. Bu Rahmat memeriksa kaki anaknya sambil berjongkok.

"Sejak tadi malam gatal sekali. Aku menggaruknya sampai luka," kata Uci sambil meringis menahan sakit dan gatal.

"Ini penyakit kulit. Eksim namanya, Ci. Sebaiknya kamu makan daging tokek agar cepat sembuh. Biar nanti ayahmu yang menangkap tokek di atap rumah kita."

"Jangan, Bu. Tokek itu jangan dibunuh. Kasihan. Belikan saja obat penyakit kulit yang dijual di toko," pinta Uci.

"Boleh. Tapi Ibu ragu apa penyakitmu bisa sembuh dengan obat dari toko."

Benar juga apa yang dikatakan Ibu. Obat yang dibeli di toko ternyata tidak manjur. Setelah beberapa hari kaki Uci diolesi salep, masih saja dia menggaruk-garuk sela-sela jemari kakinya. Bu Rahmat akhirnya memutuskan memakai cara pertama.

"Tuh, lihat saja. Obat dari toko tidak manjur. Karena itu, kamu harus makan daging tokek," ujar Bu Rahmat.

"Kita tunggu sampai tiga hari lagi, Bu."

"Untuk apa?" tanya Bu Rahmat tidak mengerti.

"Saya sudah menulis surat buat Paman di kota. Saya ceritakan tentang gatal-gatal di kaki saya. Saya meminta Paman untuk membelikan obat yang paling baik," Uci menjelaskan. Bu Rahmat setuju dan mau menunggu hingga tiga hari lagi.

Tepat di hari terakhir, hatiku cemas. Kiriman obat dari paman Uci hingga siang belum juga datang. Uci juga merasakan kecemasan yang sama. Aku tahu dari raut wajah gadis kecil itu.

"Petugas pos sudah lewat sejak tadi, Ci. Berarti pamanmu tidak mengirim obat ke sini. Bagaimana kalau kita tangkap tokek itu sekarang juga?" kata Pak Rahmat. Uci terpaksa mengangguk lemah. Seakan tidak rela aku diburu dan dibunuh untuk menyembuhkan penyakitnya.

Di atas atap aku bersiap diri untuk mati. Aku tidak akan lagi menghindari bila Pak Rahmat menangkapku. Aku rela dibunuh untuk menyembuhkan penyakit Uci. Kasihan sekali gadis kecil itu. Sudah satu minggu dia tersiksa oleh penyakit yang dideritanya.

Pak Rahmat sudah mengambil galah untuk menangkapku. Sementara Bu Rahmat, Budi dan Uci memperhatikan Pak Rahmat yang bersiap menyodok tubuhku. Namun ajalku rupanya belum tiba hari itu. Pintu rumah diketok dari luar sebelum galah digerakkan.

"Hore .... Paman datang! Paman membawakan obat untukku, kan?" sambut Uci gembira.

"Tentu sayang. Mana mungkin Paman membiarkan Uci menghabiskan waktu hanya untuk menggaruk-garuk kaki," jawab Paman dengan mimik lucu.

Hari itu juga Uci meminum obat dan mengoleskan kakinya dengan salep yang dibawa Paman. Kata Paman, obat dan salep itu didapat dari dokter spesialis penyakit kulit. Tentu saja harganya mahal. Namun sangat manjur. Beberapa hari kemudian penyakit Uci sembuh. Dia tidak lagi menggaruk-garuk sela-sela jemari kakinya.

Namaku Tokek. Aku tinggal di atap rumah keluarga Pak Rahmat. Keluarga yang miskin, namun hidupnya tenteram bahagia. Aku merasa sangat beruntung bisa hidup di tengah-tengah mereka. ***


Hai! Terima kasih telah membaca kliping cerita ini. Kalau kamu suka membaca kliping sejarah juga, silakan berkunjung ke http://klipingsejarahku.blogspot.com/.

Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2001Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang