Jejak Si Kaki Satu

86 4 0
                                    

Oleh Untung Sularno

Bobo Nomor 47/XXVIII/01


Minggu pagi ketika Leon menyapu halaman, ia heran melihat jejak sepatu aneh di halaman rumahnya. Jejak sepatu itu hanya satu, yaitu sepatu kanan, tanpa ada jejak sepatu kiri. Leon jadi penasaran ingin mengikuti jejak itu.

Perlahan ia melangkah mengikuti jejak sepatu yang hanya satu itu sambil berfikir dan mengingat-ingat sesuatu.

"Tidak! Tidak ada orang kampung ini yang berkaki cacat. Ini pasti jejak orang asing!" seru Leon dalam hati.

Ketika jejak sepatu yang diikutinya semakin jauh, ia menjadi ragu. Apalagi ternyata jejak itu menuju ke rumah tua di ujung jalan, yang sudah lama tidak berpenghuni.

"Jangan-jangan jejak hantu!" seketika bulu kuduk Leon berdiri. Tetapi Leon memang pemberani. Ia tetap bersikeras untuk menyibak teka-teki jejak sepatu aneh itu. Ia membulatkan tekad memasuki pintu gerbang rumah tua itu.

Saat memasuki halaman rumah tua yang menyeramkan itu, ia terkejut mendengar suara tawa orang dari dalam rumah. Jantungnya berdegup kencang. Ia berjingkat dari satu pohon ke pohon lain yang rimbun tidak terawat. Kemudian merapatkan diri ke dinding, agar tidak terlihat orang di dalam rumah itu.

"Mungkin rumah ini sekarang menjadi sarang penjahat," kata Leon dalam hati. Ia mengintip lewat jendela kaca. Lewat korden yang sedikit tersingkap ia bisa melihat dengan jelas, ada dua orang di ruang depan sedang bercakap-cakap. Tapi mereka bukanlah orang yang jejak kakinya diikuti Leon. Sebab kaki mereka tidak cacat. Siapakah mereka? Siapa pula orang yang jejak sepatunya hanya satu itu? Leon bertanya-tanya di dalam hati.

Karena matahari semakin tinggi dan ia punya tugas yang harus diselesaikan, Leon segera meninggalkan rumah tua itu. Namun ia tetap berniat memantau rumah tua itu hingga tahu siapa penghuninya.

Ketika Leon sampai di jalan, ia terkejut mendengar suara orang yang ditujukan kepadanya.

"Hai! Berhenti!"

Leon menoleh. Seketika jantungnya berdesir. Seseorang muncul dari semak belukar. Wajahnya berjambang menakutkan, dan juga pincang. Ia berjalan tertatih-tatih menggunakan tongkat penyangga. Dialah orang yang jejak kakinya diikuti Leon. Terbukti orang itu berjalan hanya dengan satu kaki.

"Jangan takut, Nak. Aku tidak bermaksud jahat," kata orang itu sambil mendekati Leon. Tetapi Leon tidak percaya. Ia menyangka orang itu pastilah salah satu dari gerombolan penjahat yang menghuni rumah itu.

Setapak demi setapak Leon melangkah mundur.

"Jangan takut, Nak! Jangan takut!" kata orang itu. Tetapi tiba-tiba saja ia menghentikan langkahnya ketika sebuah mobil tampak berjalan mendekat. Orang itu tergesa-gesa bersembunyi sambil berseru, menyuruh Leon pergi.

"Pergi! Cepat! Pergi!" teriaknya disertai isyarat gerakan tangan mengusir. Sementara mobil semakin dekat, Leon baru sadar bahwa ia harus berhati-hati dengan mobil yang mungkin berisi orang jahat. Tetapi mungkin juga polisi yang bermaksud menggerebek gerombolan penjahat.

Leon dapat melihat dengan jelas empat orang pria segera turun dari mobil. Dengan gagah mereka berjalan menuju rumah tua.

"Apa yang hendak mereka lakukan?" tanya Leon di dalam hati. Ia terus melangkah sambil menoleh ke belakang memperhatikan keempat orang itu. Tiba-tiba saja ia dikejutkan pria bercambang tadi yang telah berdiri di depannya. Lagi-lagi jantung Leon berdegup kencang.

"Jangan takut, Nak. Namaku Dibyo. Aku mantan polisi. Kakiku cacat terkena golok penjahat waktu menjalankan tugas dulu. Sekarang aku minta tolong padamu sekali ini saja. Teleponlah nomor ini. Katakan bahwa Dibyo masuk perangkap! Sekarang juga, Nak! Larilah sebelum mereka menghilangkan jejak!" kata bapak bernama Dibyo ini.

Tanpa pikir panjang Leon menerima sesobek kertas itu, lalu lari sekencang-kencangnya untuk pulang. Sesekali ia menoleh ke belakang. Dilihatnya Pak Dibyo merangkak di bawah mobil untuk memutus kabel. Sesampai di rumah ia langsung menuju telepon. Leon segera menelepon dan menyampaikan pesan Pak Dibyo dengan benar.

"Pesan Pak Dibyo saya terima. Elang segera meluncur!" Leon menjadi lega mendengar jawaban si penerima telepon, meski ia tidak tahu arti sandi itu. Ia segera berlari keluar rumah lagi. Di ujung jalan sana tampak sebuah mobil merah tetap pada posisinya semula. Leon terus berlari untuk menemui Pak Dibyo yang kini bersembunyi di balik rimbunnya semak belukar.

"Bagaimana?" tanya Pak Dibyo.

"Pesan Pak Dibyo telah diterima. Elang segera meluncur," jawab Leon.

"Bagus! Sekarang pulanglah, Nak. Terima kasih kau telah membantuku," kata Pak Dibyo. Tetapi Leon tidak mau pulang. Apalagi setelah melihat pasukan polisi berdatangan bergerak maju dari berbagai arah mengepung rumah tua itu.

"Kau tahu siapa orang-orang yang ada di dalam rumah tua itu?" tanya Pak Dibyo. Leon menggeleng.

"Mereka adalah pengedar narkoba

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mereka adalah pengedar narkoba. Mereka sedang melakukan transaksi. Mereka memang licin, selalu berpindah-pindah sehingga sulit dijebak dan diringkus. Tetapi lihatlah! Sekarang mereka harus menyerah," kata Pak Dibyo yang menemani Leon menyaksikan penggerebekan kawanan penjahat itu. Ia pun melihat seorang polisi mendatangi Pak Dibyo dengan rasa hormat. Polisi itu berterima kasih atas informasi yang diberikan Pak Dibyo. Juga kepada Leon yang bersusah payah ikut menyampaikan informasi itu.

Beberapa saat kemudian Leon melihat Pak Dibyo berjalan kaki meninggalkan jejak sepatu yang hanya satu. Jejak yang pernah membuatnya heran dan takut.

****


Hai! Terima kasih telah membaca kliping cerita ini. Kalaukamu suka membaca kliping sejarah juga, silakan berkunjung ke http://klipingsejarahku.blogspot.com/.

Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2001Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang