Oleh Mudjibah Utami
Bobo Nomor 35 Tahun XXIX 29 November 2001
Sehari lagi Ramadhan tiba. Ayah membersihkan kompor minyak yang ada di gudang. "Kenapa dibersihkan, Yah? Kan sudah ada kompor gas?" tanya Uti heran.
"Untuk cadangan andai gas habis pada waktu sahur. Mana ada toko buka dini hari begitu," jelas Ayah.
"Ooo ... begitu. Yah, sayembara Ayah itu serius tidak sih?"
"Lo! Serius dong!" Pokoknya, siapa yang bangun lebih awal tanpa dibangunkan Ayah atau Bunda, berhak mendapatkan seribu rupiah sehari."
"Pemenangnya sudah berada di depan Ayah, nih!" goda Uti.
"Jangan sombong dulu! Pertandingan belum mulai," balas Pran.
"Aah, Pran kan susah sekali bangun pagi. Dengar, Yah, Uti sudah mengganti baterai weker di kamar. Deringnya nyaring sekali. Begitu kring ... pasti deh Uti bangun."
"Kita lihat saja nanti. Biasanya laki-laki punya jurus rahasia mengalahkan lawannya. Hati-hati, Nona!" sambung Ayah.
"Ukh, Ayah! Mentang-mentang sesama cowok!" sahut Uti lalu beranjak.
Sore itu, Pran asyik membaca. Sugeng, sahabatnya datang menghampiri. "Barusan aku dari Cherys. Ensiklopedi Bobo dan buku terbitan baru lainnya sudah ada. Kita patungan meminjam, yuk. Buku-buku baru sewanya masih mahal. Bukunya asyik-asyik lo, Pran. Bisa untuk teman menunggu maghrib tiba," bujuk Sugeng semangat.
"Aku sih setuju saja. Tapi kau bayari dulu, ya!" sahut Pran antusias.
"Curang kau!"
"Eh, sebentar lagi aku bakal dapat uang. Jangan kuatir!"
Pran pun menceritakan sayembara ayahnya. Sugeng mengangguk-angguk. Sebentar kemudian kedua sahabat yang hobi membaca buku itu telah meluncur ke Cherys meminjam buku.
Malam itu seusai salat tarawih Uti dan Pran langsung tidur. Inilah hari pertama mereka makan sahur. Mereka ingin memenangkan hadiah Ayah. Begitu melewati pintu kamarnya, Pran nyengir. Matanya menatap tumpukan buku yang disewanya siang tadi. Sejenak Pran bimbang. Ia ingin membaca buku, namun ia harus bangun sahur nanti. Akhirnya Pran terus melangkah ke tempat tidurnya.
Sampai beberapa lama Pran tidak dapat memejamkan matanya. Keinginannya membaca buku semakin mendesak. Pran pun bangkit mengambil buku dan membacanya sambil tiduran. Halaman demi halaman ia cermati. Sampai kemudian ia tertidur tepat pada saat jam dinding menunjukkan pukul 23.00. Tentu saja keesokan harinya Pran kalah.
Sehari, dua hari, bahkan ketika sudah berganti minggu, Pran tetap terlambat bangun tidur. Pran mulai gelisah. Bagamana kalau Sugeng menagih uang? Pran menatap tajam kalender di dinding. Puasa tinggal 14 hari lagi. Itu berarti kalau ia ingin melunasi pinjamannya pada Sugeng, mulai malam nanti harus memenangkan sayembara ayah sampai lebaran. Wah, celaka!
Berkali-kali terlihat Pran menghela napas berat. Sebetulnya ingin sekali ia membicarakan kesulitannya dengan Sugeng. Tapi ia takut mengecewakan Sugeng. Waktu meminjam buku, Sugeng bercerita uang tabungannya itu akan digunakan untuk bekal hari lebaran ini. Aku harus mengembalikan uang Sugeng, tekad Pran.
"Pran, kita main di pondok kayuku, yuk!" ajak Budi dari pondok di pohon nangka. Dari jendela kamarnya Pran dapat melihat Budi mengacungkan kotak caturnya.
Bergegas Pran menuju ke belakang rumah Budi. Ia menaiki tangga tergesa-gesa. Main catur di pondok kayu sembari menunggu magrib tiba sangat mengasyikkan. Begitu tiba di pondok, mata Pran terpaku pada tas kain biru.
"Itu pemberian nenekku karena aku selalu bangun pagi," jelas Budi tanpa diminta.
"Bangun pagi itu susah ya, Bud," gumam Pran sembari mengatur bidak-bidak catur.
"Ah, tidak! Minum saja dua gelas air putih menjelang tidur. Pasti menjelang subuh akan terbangun karena ingin pipis."
Pran bersorak dalam hati. Ia bertekad mencobanya nanti. Kedua anak itu pun tenggelam bermain catur di pondok kayu.
Malam itu sebelum tidur Pran meneguk dua gelas air putih. Ia benar-benar terbangun ingin pipis ketika yang lain masih terlelap. Bergegas ia ke toilet kemudian membangunkan Kak Uti.
Sejak itu hingga hari terakhir makan sahur, Pran selalu berhasil bangun lebih awal. Hari terakhir puasa, menjelang magrib ia menyerahkan uang hadiah kepada Sugeng. Bukan main leganya Pran. Ketika telinganya menangkap alunan takbir Idul Fitri, ia benar-benar bahagia. Ia tidak mengecewakan sahabatnya di hari istimewa ini. ***
Hai! Terima kasih telah membaca kliping cerita ini. Kalau kamu suka membaca kliping sejarah juga, silakan berkunjung ke http://klipingsejarahku.blogspot.com/.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2001
Historia CortaD A F T A R I S I Bobo Nomor 8 Tahun XXIX 24 Mei 2001 - Cerpen "Jangan Bukan Amplop Ini" oleh Ellen Kristi - Dongeng "Lelaki Penunggang Beruang" oleh Ayu S. Aulina - Cerpen "Pengalaman Baru Pino" oleh Ny. Widya Suwarna Bobo Nomor 9 Tahun XXIX 31 M...